Selasa 06 Feb 2018 15:09 WIB

Sumatra Barat, Gudangnya Tokoh Nasional dan Pers

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Karta Raharja Ucu
Rosihan Anwar
Foto:
Karni Ilyas

Selain keempat tokoh pers tersebut, saat ini pun ada seorang jurnalis asal Sumbar yang namanya dikenal masyarakat luas. Jurnalis media cetak yang kemudian beralih menjadi jurnalis media elektronik, tepatnya televisi. Ia adalah Karni Ilyas, pemimpin redaksi saluran televisi yang hingga saat ini fokus pada program pemberitaan.

Pria bernama lengkap Sukarni Ilyas itu lahir di Bukit Tinggi, Sumbar, 66 tahun silam. Jebolah IISIP Jakarta itu memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter di Harian Suara Karya pada 1972. Sekitar enam tahun berselang, Karni melanjutkan kariernya di Majalah Tempo dan kemudian pada 1991 ia berpindah ke Majalah Forum Keadilan.

Majalah Forum Keadilan menjadi media cetak terakhir pada kariernya. Pada 1999, ia berpindah ke SCTV. Di bawah sentuhan tangannya, beberapa hasil liputan program Liputan 6 mendapatkan penghargaan bergengsi. Ia kemudian pindah ke stasiun televisi lain, yaitu ANTV. Hanya dua tahun, Karni dipercaya memimpin redaksi TV One hingga saat ini.

Di stasiun televisi yang terakhir, ia membuat beberapa program unggulan. Di antaranya adalah Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dulunya bernama Jakarta Lawyer Club (JLC). Berkat program-program dan kinerjanya, Karni mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia 2015 kategori Presenter Pria Terbaik.

Sebagai orang yang lahir dan mengenyam pendidikan sejak kecil hingga sekolah menengah atas di Padang, tentu ia paham dengan perkembangan pendidikan dan dunia pers di sana. Ia berpendapat, mulai tahun 1959, atau sejak Demokrasi Terpimpin diberlakukan Presiden Sukarno, kualitas pers atau jurnalis dari Sumbar mulai berkurang.

"Belum ada lagi sampai saat ini yang bisa menyamai tokoh-tokoh pers yang dulu ada di sana," ungkap Karni saat ditemui Republika.co.id, Senin (22/1) lalu, di salah satu rumah makan di Jakarta Selatan.

Karni menjelaskan, salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah tingkat dan kualitas pendidikan di Sumbar yang tak sebaik dulu. Saat di mana tokoh-tokoh bangsa tumbuh dan berkembang.

"Jangankan dengan Jakarta, dengan daerah-daerah di sekitarnya juga kalah. Dibandingkan dengan Medan, kualitas pedidikannya kalah," ujarnya.

Karni merasa, apa yang terjadi di Sumbar juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Terjadi penurunan kualitas jurnalis. Menurut dia, jurnalis yang memiliki integritas tinggi hanya segelintir saja saat ini.

"Sejak 2014, wartawan terpolarisasi. Terbagi menjadi dua bagian pada saat Pemilihan Presiden. Jurnalis yang mendukung kedua calon presiden sangat terlihat saat itu," terang dia.

Kondisi tersebut, kata dia, mengkhawatirkan. Karni menjelaskan, profesi jurnalis seharusnya tidak berpihak ke pihak mana pun. Keberpihakan jurnalis hanya boleh kepada kebenaran.

Karena itu, Karni sepakat dengan imbauan dari Dewan Pers soal keharusan seorang jurnalis untuk mundur apabila hendak menjadi tim sukses salah satu kandidat pemilihan umum (Pemilu). Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengingatkan, jurnalis yang ikut pemilu atau yang menjadi tim sukses salah satu kandidat, harus mundur sementara.

Karni juga menjelaskan, urusan redaksi jangan sampai dicampuri oleh pemilik media. Di sini, peran penting dari Pemimpin Redaksi sangat diperlukan. Seorang Pemimpin Redaksi, harus tegas dengan sikap menjauhkan keberpihakan politik medianya.

Ia menuturkan, kualitas pers dapat kembali meningkat sejalan dengan meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat. Karena itu, pemimpin daerah harus peduli akan pendidikan warganya. "Meningkatnya mutu pendidikan akan berpengaruh ke kualitas persnya," lanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement