Jumat 21 Apr 2017 16:09 WIB
Hari Kartini

Emansipasi Membawa Kartini Menemukan Kedamaian dalam Islam

Hari Kartini
Foto: VOA
Hari Kartini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Febrianto Adi Saputro, wartawan Republika

Raden Ayu Kartini. Namanya abadi untuk mereprentasikan emansipasi. Cucu bupati Demak, Pangeran Ario Tjondronegoro, itu mewariskan pemikiran jika orang Indonesia tidak boleh terbelenggu oleh kebodohan, meski saat itu Belanda sedang menjajah Nusantara.

Pangeran Ario Tjondronegoro mendidik anak-anaknya dengan pelajaran Barat. Begitu juga dengan ayah Kartini, RM Adipati Ario Sosroningrat yang memiliki pemikiran progresif. Bupati Jepara itu mencari jalan agar masyarakat Jawa dapat mengubah keadaan mereka menjadi lebih baik.

Kepedulian keturunan Tjondronegoro terhadap pendidikan diperkuat dengan banyaknya sepupu Kartini yang mengenyam pendidikan hingga setingkat Hogere Burgerschool (HBS) atau setara dengan Sekolah Menegah Atas (SMA). Bahkan saudaranya ada yang menimba ilmu sampai ke negeri Belanda.

Semangat dan cita-cita Kartini untuk memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam tergambar dalam kumpulan surat-suratnya. Surat-surat itu dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Lieht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya (Habis Gelap Terbitlah Terang). Meski dikenal sebagai tokoh gerakan emansipasi perempuan, namun tidak banyak yang tahu bagaimana seorang Kartini menjalankan ritual agama yang dipeluknya, Islam. Maka tidak heran jika keislaman Kartini dipertanyakan.

Kartini lahir pada 28 Rabiulakhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879) di Mayong, salah satu kabupaten di Jepara, Jawa Tengah. Di kota itu juga ia disekolahkan ayahnya. Keluarganya begitu mengagumi kemajuan Eropa, sehingga anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan ia didik dengan pelajaran Barat.

Kartini sempat mempertanyakan Islam dalam suratnya kepada Stella Zihandellar pada 6 November 1899;

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci untuk diterjemah dalam bahasa apapun. Tidak ada yang mengerti bahasa Arab di sini. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

Dari kutipan surat tersebut, terlihat kegundahan Kartini terhadap Alquran, kitab suci umat Islam yang tidak ia mengerti. Salah satu alasannya karena tulisannya berbeda dengan bahasa Belanda yang memakai tulisan latin. Bahkan Kartini pernah dalam suratnya 15 Agustus 1902, secara tegas Kartini enggan membaca lagi Alquran.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Dalam buku karangan Rahayu Amatulah yang berjudul Kartini dan Muslimah dalam Rahim Sejarah, menuliskan Kartini memiliki jiwa spiritualitas yang tinggi. Batinnya yang haus tidak semuanya terpenuhi mengingat kebijakan penjajah pada masa itu yang melarang Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Sehingga tidak heran jika banyak orang umat Islam yang tidak mengerti agamanya dengan baik.

Namun, hal itu tidak membuat Kartini menyerah dan meninggalkan keimanannya begitu saja. Tingginya nilai spiritualitas dan keimanan yang ia miliki terhadap Islam membuat ia terus mencari apa yang menjadi pergumulannya mengenai Islam.

Sampai suatu ketika ia bersua dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat pada sebuah pengajian di rumah pamannya yang seorang Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Dalam pengajian tersebut, Kiai Sholeh Darat mengkaji tafsir Alquran surah Alfatihah yang disampaikan dalam bahasa Jawa.

 

Usai pengajian itu, Kartini memaksa pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat. Sang Paman pun menuruti keinginan kemenakannya. Dalam pertemuan itu, Kartini meminta kepada Kiai Sholeh untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa.

Selepas pertemuan tersebut, Kiai Sholeh Darat menyusun Kitab Tafsir Faid Al Rahman yang ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan tulisan huruf Arab Pegon. Teks-teks itulah yang kemudian dipelajari Kartini.

Seketika paradigma Kartini terhadap Islam berubah. Apa yang menjadi kegalauannya terjawab. Hal itu dapat dilihat dari surat yang ia tulis kepada sahabat penanya Ny Van Kol pada 21 Juli 1902.

Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.

Lalu pada 1 Agustus 1903, ia juga menulis surat kepada Ny Abendanon;

Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah.

Karena itu, keimanan Kartini yang cukup besar terhadap Islam membuat ia menerapkan yang tertulis di dalam Alquran surah al-Mujadalah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan berupa derajat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement