Senin 03 Apr 2017 13:00 WIB
Saat Para Perempuan Memimpin Aceh

Dari Rajam, Muncullah Ratu

Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Oleh Gilang Akbar Prambadi, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Di Banda Aceh, tepat di samping Museum Tsunami, ada sebuah pemakaman luas. Ia dikenal masyarakat setempat dengan nama Kerkhoff Peucut. Pemakaman seluas 150 meter kali 200 meter ini berisikan 2.200 jasad pasukan Belanda. Mereka yang dimakamkan adalah sedikit dari tentara Belanda yang mati di tangan pejuang Aceh dalam kurun waktu peperangan 1873-1904. 

Di sela-sela jasad para pasukan penjajah, ada sebuah makam seorang bangsawan Aceh. Makam itu, meski janggal, adalah juga yang jadi asal muasal penamaan pemakaman. 

Menurut keterangan Nita, petugas penjaga Museum Negeri Aceh, makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir dari anak laki-laki sultan kebanggaan rakyat Aceh, Sultan Iskandar Muda. Anaknya, Meurah Popok, dimakamkan di situ setelah tewas dihukum oleh Sultan Iskandar Muda sendiri.

Meskipun Meurah merupakan anak kesayangan sultan, tapi perbuatan salah yang dilakukan si sulung tak bisa dimaafkan. Bukan soal ingin merebut takhta apalagi menjadi pengkhianat kesultanan. Melainkan, pemuda itu dihukum karena melanggar aturan agama, yakni perihal perbuatan zina.

Nita menuturkan, pada 1636 ada seorang perwira baru saja kembali dari tempat latihan perang pasukan Aceh. Saat sampai di rumah, ia mendapati anak sultan tengah berduaan dengan istrinya. Melihat perbuatannya diketahui, Meurah lalu melarikan diri. Di sisi lain, istri perwira itu tewas oleh pedang suaminya.

Melihat lelaki yang menodai istrinya adalah anak penguasa tertinggi di kesultanan, perwira ini lalu melaporkannya kepada Sultan Iskandar Muda. Sultan lalu memerintahkan penangkapan, hingga Meurah kemudian menyerahkan diri.

Sultan Iskandar Muda mengambil keputusan berani. Sesuai hukum Islam tentang zina dan perselingkuhan, Meurah dihukum rajam atas perintah ayahnya. Anak kesayangan pewaris takhta ini pun tewas dan dimakamkan di kompleks pemakaman ini. Jadilah Kerkhoff ditambahi namanya dengan kata Poteu Tjoet (Peucut) yang merupakan panggilan sayang Sultan Iskandar Muda kepada anaknya Meurah Popok.

Atas keputusan beraninya, Iskandar Muda menelurkan petuah yang sampai saat ini teguh dipegang rakyat Aceh : “Matee aneuk meupat jirat, tapi matee hukom pat tamita”. Artinya dalam bahasa Indonesia, “tewasnya anak dapat ditandai makamnya di mana, tapi bila hilang hukum akan dicari ke mana?”

Konon, kenyataan ini pula yang membuat Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun yang sama dengan tewasnya Meurah Popok tahun 1636.

Meski usianya terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun, Sultan Iskandar Muda diduga sakit karena memikirkan anak kesayangannya itu. Ditambah lagi dengan keraguan Iskandar Muda yang masih sangat meyakini bahwa anaknya adalah pemuda yang alim dan taat. Ia merasa tak mungkin Meurah melakukan hal seburuk itu.

Rasa sakit Iskandar Muda semakin berat. Pasalnya, Meurah adalah satu-satunya pewaris takhta, hingga demikian, singgasana kesultanan pun jatuh kepada Iskandar Tsani. Tsani adalah suami dari anak perempuan Sultan Iskandar Muda, Putri Seri Alam.

Persoalannya, Tsani sama sekali bukan keturunan Aceh. Dia adalah pangeran dari Negeri Pahang (saat ini di wilayah Malaysia) yang dinikahkan dengan Putri Seri Alam setelah Kesultanan Aceh mampu menaklukkan tanah leluhur Tsani. 

Dengan tewasnya Meurah dan wafatnya Iskandar Muda dalam waktu yang relatif dekat, muncullah ragam desas-desus. Saat itu tekanan kepada Sultan Aceh yang baru sangat tinggi.

Beredar dugaan sangat liar yang menyebutkan kejatuhan klan Iskandar Muda adalah konspirasi Pahang untuk menguasai Kesultanan Aceh. Bentuk balas dendam karena negeri tersebut ditaklukan oleh Iskandar Muda.

“Tapi Sultan Iskandar Tsani tidak memimpin lama, beliau wafat dan digantikan oleh Safiatuddin (gelar Putri Seri Alam), sebagai ratu yang berdarah asli Aceh,” kata Nita ketika ditemui Republika di lokasi pemakaman beberapa waktu lalu. 

Insiden itu kemudian memicu suksesi sejumlah pimpinan kerajaan Aceh dari kalangan perempuan. Masa kepemimpinan yang nantinya bakal merentang enam dekade. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement