Senin 01 Aug 2016 08:00 WIB
Musik Metal Vs Orde Baru

Setiawan Djodi: Metallica, Kantata Takwa, dan Islam Suara Revolusioner

Setiawan Djody
Foto:
Setiawan Djodi

6. Bagaimana pandangan Anda soal kerusuhan di hari pertama konser Metallica (saat itu konser dijadwalkan berlangsung dua hari)? Benarkah Pak Harto marah kepada Anda?

Sebetulnya saya ingin meluruskan. Pak Harto tidak pernah marah kepada saya. Pak Harto hanya menanyakan kepada pangdam jaya saat itu, yakni Pak Hendropriyono, mengapa bisa terjadi seperti itu.

Kerusuhan itu kan beyond our expectation. Di luar dugaan kita. Mau bagaimana lagi, Pak Hendropriyono kan hanya mengamankan di dalam gedung (Stadion Lebak Bulus), tapi ternyata penonton yang di luar tidak terbendung. Stadion tidak mampu menampung. Nah, penonton yang kecewa itu kemudian membakar mobil, melempari kaca rumah di Pondok Indah. Tapi itu di luar, di dalam (stadion), orang menikmati konser. Menyanyi semua. Penonton tidak ada yang terluka.

Waktu itu saya bilang ke Pak Hendro: “Ya sudah, kita berhentikan saja.” Terus beliau bilang, ngapain kalah sama kaum anarkis begitu. Pangdam minta saya jangan give up (menyerah), "Terus lagi saja nanti saya amankan konsernya.” Ya, baik, saya lanjutkan. Soalnya kesuruhan itu kan wajar, karena mereka yang datang tidak bisa masuk. Apalagi setelah musiknya main. Wah ... mereka kan ada yang berjalan kaki jauh-jauh.

7. Bisa diceritakan bagaimana proses terbentuknya Kantata Takwa?

Saya melihat kritisnya Sawung Jabo karena ikut bersama Bengkel Teater (grup teater binaan Rendra). Ketemu Sawung Jabo karena dikenalin WS Rendra. Lalu ketemu Iwan Fals karena konser musik dan kami masih ada hubungan kekerabatan. Jadilah kemudian kami bentuk Swami. Lalu ketemu Yocky Suryoprayogo. Jadilah kemudian Kantata. Ya mungkin dia (Rendra) dapat inspirasi dari saya juga. Seperti lagu “Bento” itu kan kalau jadi pengusaha kayak Djodi ini, tapi saya mungkin Bento yang baik.

Pada 2003 kami konser di Solo. Kalau tidak salah judulnya Kantata Takwa menaklukkan alun-alun kidul. Yang nonton 300 ribu, padat, tua, muda, bapak, ibu, tidak ada matinya. Kota Solo dikosongkan, waktu itu siaga satu.

But this is easy come easy go dalam hal popularity-nya. But this nothing to do soal popularity, nothing to do Kantata dengan popularity. Tidak ada, nothing to do dengan individu popularity. Karena namanya Kantata, berarti suara bersama. Inilah benang merahnya direct demokrasi itu dipersiapkan.

8. Soal lagu “Bento” banyak sekali tafsirnya, salah satunya lagu ini dianggap menyindir kekuasaan Soeharto. Bagaimana tanggapan anda?

Pernah saya ditanyain Ibu Tien, Bento ini siapa? Saya bilang Bento ini umum. Orang atau pengusaha yang baik namanya Bento. Kalau Bento yang enggak baik, yang minta monopoli. Secara gak langsung saya menyindir pengusaha yang minta Pak Harto monopoli perdagangan, serakah.

Ya enggak apa-apa kalau orang teriak bento-bento, memperjuangkan supaya tidak ada monopoli lagi. Jadi pengusaha bukan hanya profit oriented. Sekarang, buat saya, jadi pengusaha mengisi lubang-lubang aset bangsa ini. Lewat musik kan menyuarakan yang kurang-kurang, karena lewat musik didengarkan orang banyak. Kalau enggak ada musik, paling didengarkan 100 orang. Tapi, dengan Kantata kan kita ngomong message-message itu kan ratusan ribu orang yang dengar.

9. Apakah Pak Harto pernah menegur langsung soal aktivitas bermusik Anda?

Tidak pernah. Pak Harto itu orang halus, kalau marah pun cukup dengan ekspresi beliau saja. Saya sudah tahu kalau dia marah. Apalagi kalau kita disalamin lagi di rumah Sigit, enggak dilihat, wah, ini berarti marah. Beliau tidak pernah marah langsung. Yang kena tegur putranya, Sigit.

Paling yang menanyakan kepada saya pangab (panglima ABRI) pada saat itu, Jenderal Benny Moerdani. Misalnya, dia tanya apa maksudnya “Bongkar” itu? Saya jawab, “Bongkar” itu artinya membongkar jati diri kita, jadi dimulai dari diri kita. Jadi ini suara bersama.

10. Secara bisnis, apakah Anda mendapatkan keuntungan materi dari aktivitas bermusik Anda seperti mengundang Metallica, membentuk Swami dan Kantata Takwa, juga mendanai konser-konser mereka?

Secara material malah saya rugi. Enggak ada sponsor yang berani zaman itu sama Pak Harto. Dalam pemerintahan yang tersentralisasi seperti itu mana ada yang berani mengkritik seperti itu? Saya berani melakukan itu karena secara tidak langsung setelah dipanggil Pak Benny, izin itu (menyelenggarakan konser) keluar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement