Jumat 08 Feb 2019 05:11 WIB

Hancurnya Belenggu Orba untuk Warga Tionghoa

Setelah Orba runtuh, pemerintah di era Gus Dur membolehkan perayaan Imlek terbuka.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Karta Raharja Ucu
Perayaan Imlek di Bandara Soekarno-Hatta, Selasa (5/2).
Foto: Dok BSH
Perayaan Imlek di Bandara Soekarno-Hatta, Selasa (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Cina di Indonesia kini tak perlu lagi khawatir untuk merayakan tahun barunya secara terbuka. Sejak reformasi, Imlek atau tahun baru Cina yang juga disebut Sincia, disambut dengan penuh kegembiraan warga keturunan Tionghoa di Indonesia.

Bahkan di beberapa daerah, Imlek melebur dengan budaya lokal di mana masyarakat lainnya turut serta dalam semarak perayaan Imlek. Di Solo misalnya, festival Grebeg Sudiro menjadi agenda rutin tahunan untuk menyemarakan Imlek.

Baca Juga

Ini berbanding terbalik ketika zaman era Orde Baru. Imlek tak pernah ada. Sebab rezim saat itu menolak Imlek termasuk segala hal yang berbau Cina, seperti pertunjukan barongsai. Penolakan pemerintah saat itu terhadap hal-hal yang berbau Cina ditegaskan dengan keluarnya intruksi presiden nomor 14 tahun 1967.

“Akibatnya sering mereka harus melakukan kegiatan di tempat pemeluk agama Budha. Diskriminasi terhadap masyarakat luar Jawa juga terjadi, perlakuan ini menjadi bom waktu yang terbukti meledak setelah Soeharto lengser,” tulis Guruh Dwi Riyanto dan Pebriansyah Ariefana dalam Rapor Capres.

Setelah Orde Baru runtuh, warga Cina di Indonesia perlahan mulai terbuka menunjukkan tradisinya. Terlebih Presiden Abdurahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur mencabut Inpres tersebut dan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2001 tanggal 9 April 2001 yang berisi meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarono Putri pada 2003, Imlek secara resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. “Dia (Gus Dur) dan anggota kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek Februari 2000 di Jakarta, perayaan yang di organsasi oleh Matakin,” tulis Wibowo dan Thung Ju Lans dalam Setelah Air Mata Keing.

Bahkan tak sekedar untuk perayaan Imlek, di era reformasi, pemerintah pun mengakui warga yang bergama Konghucu. Di mana pada 31 Maret, Menteri AGAA Surjadi menerbitkan sebuah instruksi nomor 4777/805/Sj yang membatalkan surat edaran tahun 1978 yang hanya mengakui lima agama tak termasuk Konghucu. Setelah lengsernya Soeharto, barulah negara memberikan kembali pengakuan kepada Agama Konghucu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement