Selasa 20 Nov 2018 05:01 WIB

Keturunan Nabi, Orang Arab: Penyebaran Islam di Indonesia

Para keturunan nabi menyebar di Indonesia dan banyak menjadi tokoh elit.

Peristiwa Sumpah Pemuda Keturuanan Arab pada tahun 1930-an.
Foto:
Suasana kampung Arab di Surabata awal abad 20.

Tak hanya berada di Pantai Utara, misalnya di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, yang menjadi tempat tinggal Habib Husein Alaydrus, sosok penyebar Islam asal Hadramaut ternyata sudah jauh lebih dahulu berkelana masuk ke pedalaman Jawa bagian selatan. Salah satu jejaknya itu adalah berada di Pondok Pesantren Somalangu (Al Kahfi) di Desa Sumberadi, Kabupaten Kebumen.

Pondok pesantren ini sudah berdiri sangat lama. Mengacu pada prasasti yang dipahat di batu zamrud, umur pesantren ini malah terindikasi lebih tua dua tahun dari Masjid Demak, yakni dibangun pada 26 Sya'ban 879 H (4 Januari 1475 M).

Pesantren Somalangu didirikan oleh seorang ulama yang mantan pejabat tinggi asal Syihr, Hadramaut, Yaman, yakni Sayid as-Syekh Muhammad 'Ishom al-Hasani. Sosok ini oleh masyarakat di sana lebih dikenal dengan nama Sayid as-Syekh Abdul Kahfi Awwal mengacu pada nama pemberian gurunya, Sayid Ja'far bin Hasan dari 'Inath.

Gelar "kahfi" dikenakan karena dia dikenal gemar menyendiri di dalam gua untuk beribadah. Adanya gelar "Sayid", maka dia tentu saja masih merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, oleh anak keturunnya di kemudian hari gelar sayid atau keturunan nabi ini tidak mereka pakai lagi. Mereka memilih nama biasa yang sama dengan pribumi.

Abdul Kahfi datang ke tempat itu setelah Sultan Demak memberikan perintah agar pergi dan tinggal ke pedalaman selatan Jawa itu. "Thama dha'u'' (di situ tempatmu)," begitu titah Sultan Demak kepada Syekh Abdul Kahfi ketika memintanya pergi ke selatan Jawa yang saat itu masih jarang penghuni dan penduduknya masih memeluk agama Hindu. Dalam riwayat lain (Kuntowijoyo) menyebut bahwa yang memerintahkan pergi itu adalah Raja Mataram, Sultan Agung.

"Pondok pesantren kami sudah sangat tua. Tak jauh dari masjid dulu ada candi dengan lingga-Yoni yang sangat besar. Sebelum pondok berdiri di situ, masyarakatnya menganut agama Hindu yang dipimpin Resi Dara. Nama asli desa itu Alang-Alang Wangi. Para alumni dan santri tersebar ke banyak daerah, apalagi pendiri pondok ini juga punya hubungan darah dengan para ulama Sumatra Timur dan di Kesultanan Bugis, Makassar," kata Hidayat Aji Pambudi MA, salah seorang pengurus Yayasan Pondok Pesantren al-Kahfi, Somalangu.

Menurut Aji, karena sudah berusia sangat tua, wajar bila kemudian para alumninya menyebar ke berbagai wilayah, terutama di wilayah Kedu Selatan, Cilacap, Banyumas, bahkan sejumlah pesantren di Cirebon juga ikut terkait. Temali jaringan ini semakin kuat karena antarpara murid yang kemudian mendirikan pesantren, termasuk keluarga Pesantren Somalangu, saling melanggengkan hubungan melalui ikatan perkawinan.

Sejak didirikan, pesantren ini telah mengalami pergantian pimpinan secara turun-temurun sebanyak 16 kali. Para alumninya pun telah menjadi tokoh Islam terkenal, seperti Kiai Abbas Buntet Cirebon, Kiai Dalhar Watu Congol Muntilan, dan Kiai Dahlan Jampes.

''Kalau hubungan pernikahan keluarga pesantren ini juga menikah dengan banyak kiai berpengaruh di sekitar wilayah Kebumen Pesantren Jetis), Banyumas (Pesantren Leler), dan Cilacap (Pesantren Kesugihan). Sedangkan, kalau jaringan santri alumni yang saling melakukan pernikahan sudah tak bisa lagi dilacak karena sudah tersebar luas dalam jangka waktu yang sampai 500-an tahun itu,'' ujar Aji.

Sama halnya dengan makam Habib Husein Alyadrus di Kampung Luar Batang, setiap hari selalu ada orang berjiarah ke makam Syekh Abdul Kahfi. Pada hari-hari tertentu -- misalnya dalam acara khaul/peringatan kematian-- peziarah yang datang mencapai ribuan orang. Suasana desa Sumber Adi pun menjadi hiruk pikuk. Sosok dan jasa ulama asal Hadramaut terkenang sampai sekarang, meski peristiwanya sudah hampir lima ratus tahun yang silam.

Penyebaran para keturunan Rasullah dan orang Arab ini juga menyebar ke tempat lain di seantero Nusantara. Apalagi sejak abad 13 Pesantren di Gresik yang dikelola oleh Sunan Giri menjadi pusat penyebaran agama Islam, terutama untuk wilayah timur Indonesia. Dari sana juga para keturunan nabi (Sayid) tersebar hingga Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Maluku, Nusatenggara, bahkan Papua.

Banyak di antara para sayid yang kemudian menjadi kaum elite, misalnya para raja di Kalimantan (bahkan juga menjadi raja dan ulama penting berbagai kerajaan di Sumatra).Salah satu catu contohnya adalah pada sosok keluarga Algadri di kerajaan Pontianak.

photo
Sultan Hamid II bersama Sukarno dan Hatta. (pinterst_

Di kerajaan Pontianak itu, bangsawan atau keluarga kerajaan itu, salah satu diantaranya Raja Sultan Hamid II, malah kemudian menjadi pencipta  lambang negara Garuda Pancasila. Tak hanya itu saja dia juga menyerahkan wilayah kekuasaanya menyatu dengan negara Indonesia. Padahal kalau Sultan Hamid II mau, dia bisa berkuasa menjadikan kerajaannya negara mandiri yang merdeka karena dia adalah tokoh elit negara Republik Indonesia Serikat. Belanda pasti mau menyokong dan membantunya.

Nah, sampai sekarang, para tokoh masyarakat yang banyak berasal dari sayid (keturunan nabi SAW) yang kemudian menjadi elit di berbagi wilayah di Indonesia itu pun makamnya selalu diziarahi. Hari wafatnya pun selalu diperingati, yankni dengan acara ‘haul’. Di sini melalui keturunan dan para pengikut Rasullah SAW, telah lama berkiprah dan menyatu dalam diri bangsa Indonesia. Dan ini memperkuat tesis Buya Hamka bahwa Islam di Indonesia dibawa langsung dari Arab, bukan dari Cina atau Gujarat seperti teori para tinggalan orientalis kolonial.

   

   

   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement