Selasa 23 Oct 2018 11:11 WIB

Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Mau Ngapain?

Warga keturunan Cina membaur dengan warga dan kebudayaan Indonesia.

Sejumlah buku yang menceritakan perjalanan warga keturunan di Nusantara.
Foto: Priyantono Oemar/Republika
Sejumlah buku yang menceritakan perjalanan warga keturunan di Nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Sepenggal cerita Riniwaty (Mak Yie Nie) tentang ibunya yang harus menyalakan lampu petromaks, membetot saya ke masa kecil. Mulai kelas lima SD saya dilatih untuk bisa menyalakan lampu petromaks. Di awal-awal, saya sering membuat kaus lampu sobek ketika sudah menyala, akibat goncangan keras saat memompa.

Untungnya ada persediaan pengganti di rumah. Jika persediaan kaus lampu sudah habis, harus membeli ke toko milik Warsipan, sejarak dua kilometer. Jika tak ada di toko Warsipan, baru belanja ke toko Babah Yok, tak jauh dari toko Warsipan. Saya pernah berjalan kaki membeli kaus lampu ke sini.

Babah Yok keturunan Cina. Saya tak tahu asal-usulnya. Ia membuka toko kelontong, yang menjual beragam kebutuhan. Kios-kios milik Cina di seberang toko Babah Yok banyak yang membuka servis sepeda. Sewaktu di SMP, jika ada masalah dengan sepeda, saya membawanya ke sini, untuk ganti jeruji roda misalnya.

Salah satu orang Cina tetangga Warsipan yang belum fasih berbahasa Indonesia dan Jawa sering datang di rumah pada 1970-an, menawarkan daging. Ia dan bapak saya berkomunikasi dengan bahasa isyarat saat bertransaksi.

Tak ada tawar-menawar di toko kelontong Babah Yok, tetapi bapak saya menawar ketika bertransaksi dengan orang Cina yang berjualan daging itu. Tawar-menawar lazim dilakukan para pedagang Cina di masa lalu. Interaksi sosial antaretnis lewat tawar-menawar barang dagangan ini dianggap Belanda sebagai sistem dagang paling primitif.

Buku De Distribueerende Tusschenhandel der Chineeezen op Java karya Liem Twan Djie menyebutkan para pedagang Cina tak menetapkan harga pasti pada barang dagangannya, sehingga memunculkan tawar-menawar. Pembeli akan menang dalam menawar jika hal itu dilakukan ketika penjual hendak menutup jualan hari itu.

Riniwaty juga menyingung soal interaksi sosial ala pasar ini, lantaran di masa Hindia Belanda, Cina dipisahkan dari pemukiman penduduk lokal. Di buku Orang Padang Tionghoa, Riniwaty bercerita tentang kehidupan orang-orang Cina di Padang. Isi buku ini ia ambil dari disertasi doktoralnya di Universitas Padjadjaran yang ia lengkapi dengan pengalaman-pengalaman personal sebagai orang Padang keturunan Cina. Ia bangga menyebut diri sebagai orang Padang beretnis Cina.

Kakek-nenek Riniwaty dari Cina, bapak-ibu Riniwaty juga Cina. Sebelum pindah ke Padang, kakek Riniwaty tinggal di Pariaman, kota pelabuhan yang menjadi pintu masuk pedagang-pedagang dari Cina di masa lampau.

Cristine Dobbin di buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, mencatat pantai barat Sumatra hanya dikenal sebagai Pariaman lantaran pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya tak populer namanya. Bahkan, Cina mendapat perlakuan khusus dari Belanda, dengan hak monopoli di Kepulauan Batu. Mereka juga dijadikan agen dagang oleh Belanda, bertugas mengawasi budidaya lada di pedalaman.

Pariaman menjadi pelabuhan tempat lada diekspor ke Gujarat dan Cina. Untuk mendapatkan lada, orang-orang Cina berani masuk ke pedalaman, memberi pinjaman kepada petani lokal yang bertanam lada. Inilah yang dikenal dengan sebutan ceti. Yaitu orang yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Pada 1930, seperti ditulis Twang Peck Yang di buku Elite Bisnis Cina di Indonesia tercatat ada 347 ceti Cina di luar Jawa. Di Jawa, ceti mencapai 5.336, sebanyak 4.342 asli Cina.

Dari Mana Munculnya Sentimen Negatif

Muncul pula singkeh mindering, yaitu orang-orang Cina yang berjualan barang dengan sistem cicil yang juga meminjamkan uang. Anggota keluarga Keraton Solo termasuk yang menjadi pelanggan. Kehidupan mewah anggota kerajaan pada 1920-an ditopang oleh singkeh mindering. Sertifikat tanah menjadi jaminan.

Interaksi antaretnis terbukti juga tercipta lewat hubungan utang-piutang. Terlebih utang berbunga tinggi ini jangka waktunya sangat panjang untuk sampai bisa lunas. Buku Elite Bisnis Cina itu menyebut Cina Hokchia banyak yang menjadi tukang mindering di pedalaman. Sedangkan Cina Hakka mengelola toko kelontong. Cina Hokchia banyak yang menikah dengan penduduk lokal, karena tak mampu membawa istri dari negeri Cina seperti Cina Hokkian. Maka, interakasi juga tercipta lewat perkawinan.

Pada 1930, jumlah penduduk Jawa sebanyak 41,7 juta jiwa. Penduduk etnis Cina sudah mencapai 582 ribu. Jumlah ini di atas jumlah penduduk Eropa di Jawa yang berjumlah 192 ribuan. Pada 1930 itu, tercatat ada 5.803 perempuan lokal yang bersuami Cina Hokchia. Jumlah ini mencapai 6,7 persen dari istri Cina di luar Jawa secara keseluruhan. Di Jawa ada 4.988 perempuan yang bersuami Cina Hokchia. Jumlah ini mencapai lima persen dari jumlah istri Cina di Jawa.

Pernikahan antaretnis dilakukan dua adik Handoko Widagdo (Khoe Kiem Hiat), seperti yang diceritakan di buku Anak Cino. Adik bungsunya bahkan menikah secara Islam dengan perempuan Jawa. Dua pernikahan itu memunculkan pertentangan di keluarganya, tetapi Handoko mendukung keputusan dua adiknya, dan ia membujuk ayahnya untuk merestui. Berhasil.

Di masa lalu, seperti diceritakan di buku Peranakan Tionghoa Indonesia, keluarga keraton Yogyakarta ada yang diadopsi keluarga Cina lalu diberi nama Cina. Ketika berkeluarga, anak-anaknya pun diberi nama Cina. Ada pula Cina Muslim yang kemudian dijadikan bupati Semarang, anaknya kemudian menjadi penasihat keagamaan Sultan. Di Banten, cucu Sultan Ageng Tirtayasa memakai nama Cina untuk menghindari kejaran Belanda.

Kendati sudah tercipta keluarga campuran, bukan berarti interaksi antaretnis di Indonesia menjadi tuntas. Praktik-praktik negatif seperti tawaran pinjaman dengan bunga tinggi yang berujung pada sita harta, memunculkan antipati. Maka, ketika Jepang mendarat di Sumatra dan Jawa pada Maret 1942, kerusuhan anti-Cina pun pecah di Jawa dan Sumatra.

Mengutip Tjung See Gan, pengusaha yang hartanya dijarah, Twang Pek Yang mengungkap ujaran-ujaran para penjarah. "Kami di sini untuk mengambil barang-barangmu! Kami mendapat perintah dari Jepang! Kalian para Cina sudah kaya! Kami miskin! Usir Belanda. Usir Cina."

Pengusaha-pengusaha pribumi pun beraliansi dengan kelompok-kelompok yang melakukan aksi kekerasan terhadap Cina. Pengusaha Cina mengalami kerugian 100 juta gulden akibat aksi-aksi penjarahan itu. Mereka pun harus membayar kepala-kepala kriminal sebesar 200 gulden agar barang-barang tak dijarah.

Penderitaan mereka belum berhenti di sini. Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah menjadikan mereka sebagai sumber keuangan. Aset-aset mereka juga disita, dan jumlah kekayaan mereka dibatasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement