Ahad 11 Mar 2018 14:37 WIB
Supersemar

Supersemar Vs Raja Dangdut Rhoma Irama

Rhoma Irama yang bergabung dengan PPP jadi batu sandungan Golkar memenangkan Pemilu

 Pedangdut Rhoma Irama memberikan tanda kemenangan
KH Zainuddin MZ

Untuk diketahui, pada 1977 Rhoma adalah satu dari sedikit artis yang bergabung dengan PPP. Meski begitu, keberadaan Rhoma di PPP signifikan karena popularitasnya tengah menanjak. “Begadang”, salah satu tembangnya yang meledak kala itu dinyanyikan masyarakat di mana-mana.

Yang membuat Rhoma istimewa, ia juga lantang bersuara dalam kampanye PPP. Tak jarang, takbir ia teriakkan untuk memancing emosi massa. Abah Alwi juga ingat, saat itu dalam kampanye-kampanye PPP Rhoma kerap mambawakan lagunya yang berjudul “Indonesia.” Liriknya, antara lain, “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Negara bukan milik golongan, dan juga bukan milik perorangan. Dari itu, jangan seenaknya memperkaya diri membabi buta….”

photo
Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan)

Rhoma saat itu tak menjelaskan kepada siapa lirik ditujukan. Bagaimanapun, Golkar dan pemerintah geram saat itu. Akhirnya, Rhoma tak boleh tampil di TVRI sebagai satu-satunya saluran televisi di zaman itu. Dia diboikot sama sekali.

Selain itu, pagelaran musik Rhoma juga dilarang di daerah-daerah. Terutama, karena ada pesan dari pusat bahwa kepala-kepala daerah mesti memenangkan Golkar di wilayah kekuasaan masing-masing. Meski begitu, ada kesempatan partai-partai untuk berkampanye di TVRI sepekan sekali. Waktu itu, Roma Irama mencuri kesempatan tampil sekali.

Dalam wawancara menjelang Pemilu 2014 silam, Rhoma Irama juga mengaku masih ingat dengan masa-masa tersebut. “Waktu itu, memang pemerintah sangat represif ya, tidak demokratis seperti sekarang ini. Sementara itu, saya berseberangan dengan rezim waktu itu. Jadi, saya banyak mengalami intimidasi. Misalnya, selama 11 tahun saya diboikot TVRI, dipersulit untuk manggung dan sebagainya. Tapi, itu buat saya konsekuensi logis dari sebuah perjuangan. Saya sangat menikmati itu,” kata dia kepada wartawan Republika Ali Yusuf.

Berselang dua hari selepas kerusuhan di Pekalongan pada 1997, Raja Dangdut mencoba mengecilkan kekecewaan warga atas pilihan politiknya. Pimpinan OM Soneta menolak anggapan bahwa kemarahan massa itu timbul karena mereka tidak rela dirinya menyeberang ke OPP lain.

Menurutnya sejauh kejayaan Islam dan kemenangan Muslim sebenarnya keberpihakan dirinya pada salah satu OPP tidak menjadi masalah. Ia merasa selama ini tak pernah mengkotak-kotakkan umat atau membuat mereka jadi lawan politik. “Karena partai itu cuma sarana, tapi tujuan sama.” Soal tulisan atau poster yang mengecam dirinya, Rhoma mengaku tak tahu-menahu.

Bagaimanapun, KH Zaenuddin MZ memberikan jawaban yang lebih frontal saat itu. Ia tak menafikkan dimensi politis dari kerurusan di Pekalongan. Ia menyinggung masalah kuningisasi di Jawa Tengah yang menurutnya  menunjukkan adanya arogansi pemerintah. Ia saat itu juga mengajak agar rakyat, ulama dan umaro melakukan introspeksi.

KH Zaenuddin MZ mengajak umat jangan mau dipecah-belah. Tapi rukun, kompak dan bersatu. Ia mengatakan umat Islam bukan umat yang oposan bukan pula umat yang ekstrem. Umat Islam adalah umat yang loyal, taat, patuh, setia dan rahmatan lil alamin. KH Zaenuddin juga mengajak umat untuk rukun atas umat seagama dan antaragama. Seruan yang kiranya masih punya relevansi saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement