Jumat 21 Apr 2017 16:33 WIB
Hari Kartini

Kartini, Pusat Perjuangan Emansipasi Indonesia

Kartini
Foto: .
RA KArtini

Bayang-bayang kebesaran hero ini dalam sejarah yang sengaja ditiupkan oleh rekayasa kekuasaan malah membuatkan sikap kritis menilai secara utuh dan seimbang eksistensi hero dalam sejarah. Begitu pula dengan Kartini. Sebagai hero dia lahir di lingkungan aristokrasi yang sarat feodalisme dan ketundukan tradisi.

Akibatnya, ketika Kartini mengenyam pendidikan barat (baca: Belanda) terjadilah -split personality- antara dirinya sebagai bagian sistem aristoraksi dengan lingkungannya. Inspirasinya untuk memperjuangkan kaum hawa memang patut diacungi jempol. Namun kenapa dia menyerah pada tradisi? Kenapa dia mau dimadu oleh aristokrat pria? Kenapa dia menyerah pada tataran aksi?

Lalu, apa arti perjuangan emansipasi yang telah dikonsepsikannya? Bukankah ini sikap hipokrit? Apalagi, Kartini memperjuangkan emansipasi dengan suara justru berlawanan diametral dengan kondisi populis kaum buruh, misalnya. Bagi buruh wanita, jangankan memahami apa yang dimaksudkan oleh emansipasi Kartini, membaca tuntas saja mereka mungkin tak pernah.

Jadi, mana mungkin perjuangan emansipasi Kartini ini kondusif untuk situasi yang telah jauh berubah? Memang, Kartini besar pada zamannya, tapi apakah dia harus dibesar-besarkan dalam zaman kini yang telah berubah? Bukan sekadar tradisi yang dihadapi kaum hawa dalam emansipasinya kini, tapi juga iklim kompetitif yang makin tinggi dalam situasi timpang.

Ironinya, situasi timpang ini bukan cuma tanggung-jawab masyarakat layaknya tradisi yang dihadapi oleh Kartini. Tapi, situasi kini muncul dari otoritas kekuasaan yang lewat jargon pembangunan telah memanjakan masyarakat sehingga tidak lagi kritis. Untuk mengabdikan otoritas kekuasaan ini malah pokok-pokok pikiran Kartini yang digunakan.

Atas nama apa sebuah kelompok perempuan dalam birokrasi berbicara lantang tentang emansipasi? Jelas, atas nama kelanjutan perjuangan konsepsional Kartini. Sehingga, terlihat Kartini jadi begitu hidup dalam bayang-bayang kekuasaan, ia dirasionalisasi oleh semua argumentasi kekuasaan agar menjadi eksis, pada gilirannya kekuasaan akan mendapatkan untung. Korporasi inilah yang kurang memiliki daya dobrak dalam rangka perjuangan emansipasi, jadilah apa yang diperjuangkan Kartini hanya jadi lambang kekuasaan.

Dekonstruksi bahasa kepahlawanan

Kartini yang telah menjadi pusat inspirasi ide-ide emansipasi Indonesia selalu kurang kritis dinilai. Kartini sering tenggelam dalam pengkultusan lewat syair lagu dan literatur tentangnya. Ada semacam suasana kontemplatif yang sengaja dibentuk kekuasaan di balik peringkatan Kartini, agar Kartini jadi abadi dalam tiap episode sejarah. Kartini dihadirkan dalam kebesarannya di kala itu, reputasi emansipasi konsepsionalnya didengungkan di mana-mana.

Dia dihadirkan dalam mitos kesejajaran pria dan wanita. Sementara itu, aksi mewujudkan apa yang dikonsepsikan Kartini hanya terjadi berkat bantuan lembaga kekuasaan yang notabenenya dikuasai kaum pria. Lewat bahasa -klise- kekuasaan, justru liberalisasi konsepsi Kartini menjadi mandul. Buktinya, kalau ada unjuk rasa kenaikan upah minimum buruh wanita, tuntutan wajar yang emansipatif ini malah ditekan lewat propaganda semu tentang bagaimana seharusnya wanita bersikap.

Isu tentang pentingnya pengakuan eksistensi wanita ternyata lebih mendesak ketimbang isu sekadar emansipasi. Karena, dibalik keinginan emansipasi tersembunyi makna penjajahan terhadap kaum hawa. Mereka kadang harus bersimpuh meminta keadilan dan kesejajaran dari kaum pria.

Dalam khazanah feminisme, perjuangan menegakkan eksistensi ini bahkan telah dikaji sampai menukik ke persoalan mengapa terjadi penjajahan terselubung. Cara pandang patriarki yang banyak mewarnai nuansa peradaban dan kebudayaan telah menyebabkan terjadinya penjajahan terselubung. Wanita tertentu dimunculkan sebagai hero dalam sejarah untuk menutupi penjajahan terselubung ini.

Sesungguhnya, inilah domestikasi paling parah dalam sejarah kemanusiaan. Dan, Kartini telah menjadi alat untuk menjajah kaumnya sendiri. Konsepsinya hanya menjadi -lip-service- bahasa kepahlawanan dari sebuah sistem kekuasaan. Ironinya, -lip-service- ini jadi kurang akurat ketika menghadapi realitas sebenarnya di lapangan tentang kondisi kaum hawa. Mungkinkah memperjuangkan emansipasi yang paradoks dengan populisme buruh wanita?

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement