Senin 01 Aug 2016 08:00 WIB
Musik Metal Vs Orde Baru

Setiawan Djodi: Metallica, Kantata Takwa, dan Islam Suara Revolusioner

Setiawan Djody
Foto: M Akbar Wijaya/ Republika
Setiawan Djody

REPUBLIKA.CO.ID,

Di Indonesia tidak banyak manusia seperti Setiawan Djodi. Sebagai pengusaha, Djodi tidak hanya fasih bicara ekonomi, tapi juga enak diajak ngobrol politik, filsafat, kebudayaan, hingga musik. Pergaulannya merentang dari tingkat presiden hingga seniman.

Pada 1980-an Djodi turut menukangi lahirnya grup band kritis Swami dan Kantata Takwa. Di sana dia berperan sebagai gitaris, penulis lagu, dan maesenas yang membiayai seluruh konser Swami dan Kantata. Padahal, saat itu Djodi dikenal dekat dengan pihak penguasa.

Medio 1993 Djodi menjadi promotor konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Seperti halnya Swami dan Kantata Takwa, Djodi percaya musik Metallica merepresentasikan suara perubahan yang terjadi di dunia pada masa itu. Dia ingin suara demokrasi yang berlangsung di Uni Soviet dan Cina juga merambah ke Indonesia melalui musik. Sayang, hari pertama konser diwarnai kerusuhan. Mobil dibakar, warung dijarah, rumah mewah dilempari. Kabarnya, Presiden Soeharto sempat marah karena kejadian itu. Bagaimana cerita di balik itu semua?

Berikut petikan wawancara wartawan RepublikaM Akbar Wijaya dan Fitriyan Zamzami, dengan pemilik nama lengkap KPH Salahuddin Setiawan Djodi Nur Hadiningrat di kediamannya, Kemanggisan, Jakarta Barat, Ahad (24/7) lalu.

1. Apa yang mendorong anda mengundang Metallica ke Indonesia?

Setelah saya manggung bersama Kantata Takwa, saya ingin memperkenalkan perubahan-perubahan dalam musik rock. Memperkenalkan manifesto baru dalam rhythm dan beat yang sangat populer di generasi saat itu sampai sekarang.

Pada waktu itu Metallica sangat (merepresentasikan) perubahan. Kalau dalam politik, dari representative democracy (demokrasi perwakilan) menuju direct democracy.

Aku mendatangkan Metalicca dan Sepultura karena message-message sosial yang mereka bawakan. Ya, memang mereka punya lagu cinta juga, itu biasa. Tapi, waduh, "Enter Sandman" lalu "Sad But True" .... Mungkin Pak Jokowi malah lebih banyak hapal dari saya. Hahaha.

2. Bagaimana gambaran jiwa zaman di bidang politik dan musik saat itu?

Dunia sedang mengalami perubahan-perubahan. Seperti saya bilang tadi, ingin direct democracy, yakni demokrasi langsung. Di Uni Soviet terjadi Glasnost dan Perestroika, yang kena Michael Gorbacev. Di Cina juga berubah. Di sana ada dua kelompok, yang konservatif boleh, yang liberalisasi ada pasar modal, demokrasi juga boleh.

Sehingga, musik saat itu adalah refleksi dari perubahan. Musik juga berperan dalam membentuk peradaban kebudayaan manusia atau culture human civilization. Zaman masih renaisans ada musik klasik, lalu neoklasik, Bach, Mozart, sampai Wagner. Sebagai orang Jawa saya harus memahami Wagner dan yang memperkenalkan saya dengan Wagner malah David Bowie.

3. Anda sengaja mendatangkan Metallica untuk mendorong perubahan?

Yes! Yes! Ada satu triger perubahan waktu itu. Kita sudah melihat akan ada perubahan jauh dalam suatu fenomena yang keras. The sound of change suara perubahan. Musik yang tidak mendayu-dayu, tapi, "Bamm! Bamm! Bamm!" (Djodi memperagakan gerakan tangan seperti orang menempa).

Orang menonton musik pun berteriak "Hei! Hei! Hei!" Sangat revolusionerlah. Waktu itu kata revolusioner masih kayak hantu. Kata revolusioner itu sudah dianggap komunis. Padahal, Islam itu agama revolusioner. Buat saya, Muhammad revolusioner. Untung presiden sekarang (Jokowi) juga mulai merevolusi reformasi. Karena dia orang yang memahami perubahan yang keras dan tegas.

4. Izin konser Metallica bagaimana bisa keluar?

Oh, iya, saat itu kebetulan ada Mas Hendropriyono. Sama saya kan dia berkawan. Sampai sekarang tetap baik. Komunikasi pribadi. Kalau ketemu ngomong-ngomong soal musik.

5. Anda kan mengeluarkan biaya cukup banyak untuk mengundang Metallica, apakah Anda anggap hal itu pantas dilakukan untuk mendorong perubahan?

Ya. Sebetulnya saya sudah banyak mengingatkan, terutama kepada generasi muda dan Pak Harto akan ada perubahan. Saya selalu ingin truhtful (jujur). Mungkin ada yang kurang berkenan dengan truthful saya. Mungkin Pak Harto kurang berkenan saya teriak-teriak “bongkar,” tapi tidak pernah dia marah lho.

Saya bisa komunikasi dengan setiap presiden, dari Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi, karena saya selalu mengatakan truthful kepada incumbent tadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement