Kamis 09 May 2019 14:16 WIB

Kiprah Keturunan Arab di Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Sejarah mencatat warga keturunan Arab ikut berjuang melawan penjajah bukan provokator

Soekarno bersendau gurau dengan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsy (Habib Kwitang) serta sejumlah habaib.
Foto: Tangkapan layar. IST
Soekarno bersendau gurau dengan Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsy (Habib Kwitang) serta sejumlah habaib.

Beberapa hari terakhir ranah media sosial diramaikan oleh kutipan berita dari seorang mantan pejabat negara yang menyebut keturunan Arab agar tidak menjadi provokator. Ucapan itu disebut rasis dan mengadu domba, mengingat peran warga keturunan Arab untuk kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.

Banyak masyarakat salah persepsi tentang kedatangan orang Arab ke Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda menyebutkan para imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) datang ke Indonesia pada abad ke-19. Lalu para orientalis, seperti Snock Hurgronye, menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan dari Arab, tapi Gujarat (India). Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengaruh Arab di Indonesia, yang di mata Belanda sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di tanah jajahan.

Pendapat tersebut telah dibantah dalam seminar "Sejarah Masuknya Islam di Indonesia" yang berlangsung di Medan (1973). Seminar yang dihadiri para sejarawan dan pemuka agama ini menegaskan Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) dibawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, diikuti oleh orang Persia dan Gujarat.

Mereka bukanlah missionaris Islam sebagaimana diperkirakan dunia Kristen. Sebab, pada hakekatnya setiap orang Islam punya kewajiban menyampaikan misi. Malabar dan Koromandek (India) juga bukan tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi tempat singgah.

Pada masa terebut perjalanan dari Arab ke Indonesia dengan kapal layar memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih setahun. Karena itu, mereka harus singgah di Gujarat yang kala itu merupakan bandar yang ramai.

Berarti, sejak lama orang Arab telah datang ke Indonesia, Malaysia dan daerah lain di Nusantara. Penduduk menerima orang-orang Arab yang mereka anggap datang dari tanah suci (Mekkah dan Madinah). Dapat dipahami bahwa pengaruh Arab di kedua negara tersebut relatif sangat besar.

Pada abad ke-18 dan 19, misalnya, masyarakat Nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada latin. Maka, mata uang di masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu, Arab Pegon atau Arab Jawi. Bahkan, pada masa itu, cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa juga ditulis dalam huruf Arab Melayu.

Mengingat sekitar 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, seperti pernah dikatakan Rasulullah, ”Dicintai Arab karena tiga hal, karena aku seorang Arab, Alquran tertulis dalam bahasa Arab, dan percakapan ahli surga juga mempergunakan bahasa Arab.” (Hadis riwayat Ibnu Abbas).

Baca Juga: Belanda Sebut Pribumi Inlander, Keturunan Arab Hargai Pribumi Sebagai Saudara

Sehubungan dengan hal di atas, wajarlah bila Indonesia-Arab merupakan golongan yang sedemikian unik, karena status atau kedudukan mereka akibat perpaduan antara Islam dan budaya Arab, serta sejarah mereka. Kalau Belanda menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa kuli) yang membuat Bung Karno marah besar, keturunan Arab memberikan penghargaan dengan sebutan ahwal (saudara dari pihak ibu). Mengingat, sebagian besar keturunan Arab yang datang ke Indonesia tanpa disertai istri.

Karena itu, orang Indonesia keturunan Arab menolak ketika Belanda ingin meningkatkan status mereka, sebagai usaha untuk menjauhkan mereka dengan pribumi. Mereka lebih memilih untuk berdekatan dengan saudara-saudaranya dari pihak ibu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement