Jumat 18 May 2018 15:00 WIB

Tradisi Mandi Merang Warga Betawi Menyambut Ramadhan

Para ibu dan gadis-gadis mandi merang di sekitar getek-getek di kali-kali Jakarta.

Parade getek di Sungai Ciliwung
Foto: arsip nasional
Parade getek di Sungai Ciliwung

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Jakarta tahun 1950-an masih penuh pepohonan. Tidak gersang seperti sekarang. Air sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta masih bersih. Demikian pula sejumlah sungai lainnya. Sungai-sungai itu masih dapat digunakan untuk mandi, mencuci, dan mengambil wudhu. Untuk itu dibangun banyak getek di kiri kanan sungai.

Ada sesuatu yang unik yang kini sudah tidak terdapat lagi di Jakarta. Ketika itu, sehari menjelang bulan suci Ramadhan, di sekitar getek-getek itu, para ibu, termasuk gadis-gadis, dengan berkemban melakukan siraman (mandi keramas) untuk membersihkan seluruh tubuhnya.

Acara siraman itu dengan menggunakan merang, yakni batang padi yang dibakar. Merang itu direndam kemudian dioleskan ke seluruh tubuh, mulai dari rambut sampai mata kaki. Maklum, kala itu yang disebut sampo belum ada dan belum dikenal. Meskipun banyak juga yang rambutnya berketombe dan kutuan. Tapi nama ketombe juga belum menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia.

Siraman dengan air merang bukan hanya dimaksudkan untuk membersihkan badan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah membersihkan hati. Kala itu, untuk mandi, sebagian masyarakat masih menggunakan sabun cuci. Sabun yang terkenal pada massa itu adalah sabun ‘cap tangan’.

Kecuali Lifebouy, sabun-sabun mandi seperti Lux dan Camay, harus dibeli dari inang-inang yang berbelanja di Singapura. Waktu itu, untuk membeli barang-barang impor kita mendapatkannya dari para inang yang banyak berbelanja di Singapura. Atau, membelinya di black market, seperti di Pasar Ular Tanjung Priok.

Kala itu, di bulan puasa (untuk menghormati yang sedang berpuasa), rakyat tidak berbuat sesuatu yang menyolok. Misalnya merokok atau makan minum di luar rumah, yang kini tanpa mengenal malu banyak dilakukan justru oleh mereka yang beragama Islam. Maklum, ketika itu khususnya di kampung-kampung warga Betawi tak ada warung makanan yang buka selama Ramadhan.

Kini, paling satu dua hari saja warung-warung makanan dan minuman tutup. Kalaupun ingin menghormati bulan puasa, paling-paling diberi semacam krei sebagai kamuflase seolah-olah tutup. Padahal, di dalamnya terjadi kegiatan, tanpa mengindahkan bulan Ramadhan.

Meskipun rakyat Jakarta, khususnya warga Betawi, menyigrakan untuk menyuguh tamu dengan makanan dan minuman. Tetapi bila orang datang bertamu di bulan Ramadhan, pada siang hari, tidak satu tetes air pun suguhan yang akan keluar. Meski air teh sekalipun. Begitu kentalnya rasa keagamaan rakyat Betawi, hingga sejak usia enam tahun mereka dianjurkan untuk berpuasa, sekalipun hanya setengah hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement