Senin 09 Apr 2018 10:59 WIB

Pasukan Mataram Serbu Benteng Belanda di Batavia

Sultan Agung gusar lantaran Belanda ingin menguasai daerah kekuasaan Mataram.

Tentara Mataram.
Foto:
Pasar dan Benteng Batavia Abad ke-17

Sabtu 21 Oktober 1628, Komandan Jacques Lefebre dengan 2.886 orang, dua kapal pantai, tujuah sekoci dan kapal berawak 150 orang menyerang dari sungai dan darat. Terjadi pertempuran sengit. Tumenggung Baureksa dan putranya gugur beserta 200 pasukan Mataram.

Tak lama kemudian rombongan baru Mataram tiba dan bergabung dengan sisa pasukan yang tercerai-berai. Hal ini menimbulkan ketakutan di pihak Belanda. Kali ini pasukan Mataram hampir mengalahkan Belanda karena kehabisan peluru. Puluhan pasukan Belanda tewas dan ratusan kehilangan senjata.

Dalam situasi genting seorang sersan VOC mendapatkan siasat gila. Ia memerintahkan bawahannya untuk menyiramkan tinja kepada pasukan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng. Mereka pun lari sambil berteriak, "O, seytang orang Ollanda debakkalay sama tay!"

Karena itu ada yang menafsirkan kata Betawi berasal dari kata 'tai' yakni 'Bautai'. Padahal menurut DR HJ Graaf kalau saja pasukan Mataram meneruskan serangan kemungkin kota Batavia akan mereka rebut.

Panglima pasukan yang baru Tumenggung Sura Agul-Agul dan kedua bersaudara Kiai Dipati Maduredja dan Upa Santa kecewa karena Batavia gagal ditaklukkan. Mataram membendung sungai kira-kira satu mil dari kota mempekerjakan 3.000 orang selama satu bulan. Namun, berjalan lambat karena kelaparan.

Senin 37 November 1628 Benteng Hollandia diserang kembali 400 prajurit Mataram, sebagian besar gugur dan sisanya melarikan diri. Jumat 1 Desember 1628: Tumenggung Agul-Agul memerintahkan mengikat Kiai Dipati Manduredja dan Upa Santra berikut anak buahnya dan 'melalui pengadilan atas perintah raja Mataram dihukum mati karena tidak bertempur mati-matian dan Batavia gagal ditaklukkan'.

Ahad, 3 Desember 1628 pasukan Belanda menghitung korban eksekusi sebanyak 744 mayat. Menurut Andy Alexsander, eksekusi dilakukan di sekitar RS Husada, Mangga Besar, Jakarta Barat, yang ketika itu masih hutan belukar.

Salah satu sebab kegagalan Mataram di samping persenjataan yang tak seimbang, para leluhur kita ketika itu tidak bisa bertempur dengan sistem Eropa abad ke-18 dengan memanjat tembok kota.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement