Rabu 07 Sep 2016 07:30 WIB

Kejujuran Bung Hatta dan Gaya Kunker Pejabat Kita

Bung Hatta
Bung Hatta

Oleh M Akbar Wijaya

REPUBLIKA.CO.ID, “Tuhan, kau panggil satu-satunya yang tersisa, proklamator tercinta.

Jujur, lugu, dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia.”

(Iwan Fals: Hatta).

Syair di atas merupakan lirik pembuka lagu berjudul “Hatta” karya Iwan Fals. Lagu itu dirilis pada tahun 1981 dalam album Sarjana Muda. Kalau dihitung, usia lagu itu sekarang sudah mencapai 35 tahun. Namun kenangan terhadap sosok Bung Hatta, sebagaimana tergambar dalam lagu Iwan, tak lekang dari ingatan.

Sosok Bung Hatta memang bikin kangen. Saat jagad politik negeri ini makin garib, sarat intrik, dan lengit, cerita kejujuran, keluguan, dan kebijaksanaan Hatta bak oase di padang tandus.

Seperti kata Iwan, gaya hidup Bung Hatta memang tidak jauh-jauh dari kata jujur dan lugu. Sebuah cerita teladan pernah datang dari puteri keduanya, Gemala Rabi’ah Hatta. Dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya, Gemala menceritakan kejujuran ayahnya menggunakan fasilitas negara.

Kala itu, pada tahun 1971, Bung Hatta pulang berobat dari negeri Belanda. Yang dia lakukan pertama adalah meminta sekretaris pribadinya, I Wangsa Widjaja, membuatkan laporan penerimaan dan pengeluaran uang negara selama berobat di Belanda. Sebagai mantan wakil presiden, Bung Hatta memang berhak berobat menggunakan uang negara.

Permintaan semacam ini menurut Gemala sudah menjadi kebiasaan ayahnya saban pulang dari kunjungan ke luar negeri. Bung Hatta ingin setiap rupiah uang negara yang tersisa dikembalikan ke kas negara. Lucunya, kejujuran Bung Hatta ini tak jarang membuat Wangsa kerepotan. Sebab, saat uang sudah dibawa ke Sekretariat Negara untuk dikembalikan, pihak bendahara negara malah menolaknya. Menurut mereka, uang sisa itu tidak perlu dikembalikan, karena bisa dianggap sebagai uang saku tambahan.

“Bendahara Setneg bilang, uang yang sudah dikeluarkan dianggap sah menjadi milik orang yang dibiayai, tidak usah dikembalikan,” tulis Gemala saat menceritakan pengalaman Wangsa.

Mendapat laporan itu, Bung Hatta menegur Wangsa. Dia bersikeras agar uang yang tersisa dikembalikan kepada negara. “Kebutuhan rombongan dan kebutuhan saya sudah tercukupi, jadi ini harus dikembalikan,” ujar Bung Hatta.

Menurut Bung Hatta, seluruh rombongan yang menyertainya berobat di Belanda sudah mendapat uang saku yang memadai. Sehingga, jika ada kelebihan dari sisa uang tersebut, wajib hukumnya mengembalikan kepada negara. “Kalau masih ada sisanya yang tak terpakai, wajib dikembalikan.”

“Itu bukan uangku. Kembalikan kepada negara,” kata Bung Hatta.

Akhirnya Wangsa kembali ke Sekretariat Negara dan memaksa agar uang itu bisa masuk ke dalam kas negara. Tak lupa, ia meminta laporan tertulis untuk diberikan kepada Bung Hatta. “Saya jadi bahan tertawaan semua orang di Setneg,” kata Wangsa.

Saat Bung Hatta meneladankan kejujuran menggunakan fasilitas negara, lantas bagaimana elite politik kita hari ini?

Belum lama ini, Indonesia Budget Center (IBC) mengungkapkan data mengejutkan. Mereka menyatakan, anggaran kunjungan kerja (kunker) anggota DPR meningkat 24 persen dari Rp 994,92 miliar pada 2014 menjadi Rp 1,24 triliun pada 2015. Dari peningkatan ini, setiap anggota DPR mendapat jatah Rp 2,21 miliar per tahun.

Persoalannya, peningkatan anggaran ini tidak berbanding lurus dengan kualitas kinerja anggota dewan yang mestinya juga meningkat. Menurut IBC, banyak masyarakat tidak tahu siapa wakil rakyat yang mewakili mereka di Gedung Parlemen Senayan. Selain itu, kenaikan anggaran kunker juga tidak dibarengi pelaksanaan dan pertanggungjawaban yang baik. Bahkan, ada sejumlah kasus yang menunjukkan kunker ke daerah pemilihan hanya formalitas belaka.

Apa yang disampaikan IBC memperkuat pernyataan politikus PDIP, Hendrawan Supratikno, mengenai audit BPK terhadap kunker para anggota dewan sepanjang 2015. Hendrawan mengatakan, hasil audit dan uji petik BPK menemukan potensi kerugian negara Rp 945 miliar. Temuan ini berasal dari laporan kunker yang tidak memenuhi persyaratan dan sulit dibuktikan. Namun, pernyataan Hendrawan belakangan dibantah Ketua BPK, Harry Azhar Azis, di Kompleks Parlemen Senayan.

Saya tidak hendak berdebat apakah audit BPK yang disampaikan Hendrawan valid atau tidak. Sebab kita mafhum perkara transparansi penggunaan uang negara masih menjadi barang langka di Republik ini. Yang hendak saya sampaikan di sini, hanyalah bahwa di tengah berseliwerannya cerita muram dan sepinya teladan di panggung politik hari ini, dahulu sekali Indonesia pernah punya Bung Hatta.

Bung Hatta yang gigih bekerja dan bersahaja dalam politik maupun keseharian. Bung Hatta yang menghayati politik sebagai arena memperjuangkan gagasan. Hatta yang menjadikan kekuasaan sebagai jalan pengabdian dan menempatkan uang menjadi urusan kesekian. Kepadanyalah kita patut belajar dan menaruh hormat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement