Kamis 14 Jan 2016 07:00 WIB

Kereta Kuda dan Sado Boks di Kali Besar

Sado, Kereta Kuda.
Foto: IST
Sado, Kereta Kuda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Foto pada 1870-an menunjukkan bagaimana angkutan kota dan angkutan barang kala itu saling melengkapi. Mobil tentu saja belum ada yang berseliweran di Batavia, termasuk di Kali Besar yang merupakan jalan utama Kota Batavia kala itu.

Kedua kereta berkuda ini tengah lewat di sebuah jembatan yang menghubungkan Buiten Nieuwpoorstraat (kini Jalan Kali Besar) dengan Malakkastraat (kini Jalan Roa Malaka). Jembatan ini untuk menampung aliran kanal yang berasal dari sodetan Kali Ciliwung. Terlihat di sebuah gedung besar yang berfungsi pergudangan yang menjadi tempat untuk bongkar muat barang-barang, baik yang datang dari arah selatan (perkampungan di Batavia) maupun dari mancanegara.

Seperti halnya sado (kereta kuda), yang ditarik oleh dua ekor kuda, demikian juga kereta pengangkut barang yang kini disebut mobil boks. Sampai akhir abad ke-19, kedua kereta kuda ini meramaikan lalu lintas di Batavia.

Sementara para petinggi VOC memiliki kereta lebih mewah ditarik oleh empat ekor kuda impor. Di bagian belakang tempat seorang ajudan berdiri yang sekaligus sebagai pengawal.

Apalagi kalau mereka bepergian 'keluar kota' seperti Molenvliet (kini Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Terlihat dua buah tiang yang kala itu penerangannya masih menggunakan lampu gas untuk menyuplai tempat-tempat kediaman perkantoran, hotel, dan jalan raya. Paling ujung sebelah kanan tampak seorang bocah mengenakan baju sadria dan memakai kain setangan untuk penutup kepala yang merupakan pakaian Betawi ketika itu.

Seorang pria Tionghoa berpayung di hari yang terik dengan rambut model kepang yang merupakan keharusan bagi pria Cina untuk memelihara rambut dari masa Dinasti Ming. Sedangkan di depannya tampak seorang pribumi tengah menuju arah pelabuhan Sunda Kelapa. Dari kejauhan tampak bandar Sunda Kelapa dengan perahu-perahu yang tengah membongkar muat.

Dahulu jalan-jalan di pusat Kota Batavia dibangun lebar dan lurus saling menyilang dengan siku-siku yang tajam. Seperti halnya dengan nama benteng kota, penggunaan nama jalan di Kota Batavia pun semuanya berbau kolonial.

Jalan utama pada abad ke-18 dan 19 saat Batavia menjadi 'kota berbenteng' adalah Prinsenstraat (kini Jalan Cengkeh di Pasar Ikan, Jakarta Utara). Jalan ini menghubungkan kastil Batavia di sekitar Jalan Tongkol dengan Stadhuis atau Balai Kota.

Di depan Nieuw Poort atau Pintu Gerbang Baru untuk memasuki kastil terdapat tembok kota selatan terbentang lurus ke utara Nieuwpoortstraat yang kita kenal sekarang ini dengan nama Jalan Pintu Besar Utara. Di sini menunjukkan dulu terdapat 'pintu besar' untuk masuk Batavia kota berbenteng, di dekatnya terdapat 'pintu kecil', yang juga menjadi nama jalan hingga saat ini. Kedua jalan ini kemudian bersambung terus ke Heerensraat (kini Jalan Lodan, Jakarta Utara).

Lalu bersambung lagi ke utara dengan Theewaterstraat (atau Jalan The). Kanal-kanal atau terusan dalam Kota Batavia pun dibangun lurus dan saling berpotongan tegak lurus lengkap dengan jembatan-jembatan di tiap perempatannya.

Kanal-kanal ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana lalu lintas air di dalam kota, tapi juga sebagai pengendali banjir saat sungai Ciliwung meluap. Namun, saat ini hampir semua kanal atau terusan ini telah lama ditimbun dengan tanah.

Sebagiannya telah berubah menjadi nama jalan. Sebagai contoh Jalan Lada di Jakarta Utara yang kita kenal sekarang, dulu merupakan sebuah kanal dengan nama Tijgersgrach atau Terusan Macan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement