Jumat 08 Jan 2016 07:00 WIB

CBZ Atawa RSCM Tahun 1928

RSCM Tahun 1928
Foto: IST
RSCM Tahun 1928

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis) berarti Pusat Rumah Sakit Rakyat. Kini, bernama RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Jalan Diponegoro No 71, Salemba, Jakarta Pusat, diabadikan 1928.

Pemerintah kolonial membangun CBZ pada 1919 sebagai rumah sakit rakyat, tempat praktik, dan laboratorium mahasiswa STOVIA (Sekolah Dokter Jawa), cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sejak saat itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kedokteran semakin maju dan berkembang bagi masyarakat luas.

STOVIA didirikan 1898 dan murid-murid sekolah kedokteran inilah yang menggerakkan Budi Utomo pada 1908 yang kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Berdirinya CBZ dilatarbelakangi timbulnya wabah penyakit berbahaya kala itu.

Seperti medio 1874 di Banyumas yang menelan korban besar. Melalui keputusan pemerintahan kolonial, dibentuklah pendidikan penyuluhan kesehatan di RS Weltevreden (nama kawasan Pasar Baru, Senen dan Salemba) ketika itu.

Sebelumnya pendidikan ini diselenggarakan di Rumah Sakit Militer (kini RSPAD Gatot Subroto) di Hospitalweg (Jalan Dr Abdurahman Saleh), Senen, Jakarta Pusat. Bekas gedung STOVIA yang berdekatan dengan dengan RSPAD Gatot Subroto dan juga terletak di Jalan Dr Abdurahman Saleh, kini dilestarikan sebagai cagar budaya sejarah.

Warga Betawi, sampai 1970, masih menyebut CBZ, sekalipun nama ini telah dihapuskan sejak Indonesia Merdeka. Pada 1945, diubah namanya menjadi 'Rumah Sakit Oemoem Negeri' (RSON) dan 1950 menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP). Pada 17 Agustus 1964, Menteri Kesehatan Prof Dr Satrio meresmikan RSUP menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo (RSTM), sejalan dengan perkembangan ejaan baru bahasa Indonesia kemudian diubah menjadi RSCM.

RSCM merupakan rumah sakit rujukan bagi rakyat kecil yang duitnya pas-pasan. Banyak keluarga pasien yang menginap di ruang tunggu rumah sakit tersebut. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik dan nikmat, sejak awal 1970'an, dibangun Pavilion Cendrawasih yang melayani pasien layaknya RS swasta.

Waktu itu, para menteri dan pejabat negara banyak berobat di pavilion ini. Setelah Indonesia mengalami 'kemakmuran' akibat booming minyak, lebih banyak orang berobat keluar negeri.

Untuk menguranginya, terutama warga asing, Pak Harto membangun RS Pertamina, di Kebayoran Baru. Meski kenyataannya hingga kini masih banyak pasien berobat di Singapura dan Malaysia.

Gambar yang diabadikan 72 tahun lalu memperlihatkan arsitektur dan bentuk RSCM masih seperti sekarang. Sedangkan Jalan Diponegoro yang kala itu bernama Oranye Boulevaard tampak sepi, tidak terlihat satu kendaraanpun nongol.

Kembali ke masa kolonial, Batavia --nama Jakarta ketika itu-- banyak dihinggapi berbagai penyakit. Sampai 1950-an, berbagai penyakit menular melanda kota ini.

Seperti saat wabah cacar, murid-murid sekolah harus disuntik oleh petugas kesehatan yang datang ke sekolah-sekolah. Sedangkan yang terkena wabah penyakit yang membuat orang menjadi bopengan harus diasingkan dan dikarantina di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement