Sabtu 28 Nov 2015 07:00 WIB

Batavia Kekurangan Wanita

Istana Jenderal JP Coen di Pasar Ikan
Foto: Arsip Nasional
Istana Jenderal JP Coen di Pasar Ikan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Menaiki lantai dua Museum Sejarah Jakarta kita akan dapati sebuah pedang sepanjang lebih satu meter. Pedang yang tampak kehitaman karena tuanya itu tersimpan di sebuah tempat di sudut kanan gedung yang telah berusia sekitar tiga abad itu. Melihat pedang tersebut kita akan menduga bahwa sang algojo mestilah seorang yang memiliki tenaga kuat.

Tentu saja kita tidak tahu berapa kepala yang terpenggal oleh ayunan 'pedang keadilan' yang masih dapat kita saksikan itu. Yang jelas, pada 6 Juni 1629, seorang perwira muda VOC berusia 16 tahun bernama Contenhoeff pernah dihukum pancung di halaman muka Balaikota.

Tapi, kala itu balaikota terletak berdekatan dengan Museum Bahari dan bersebelahan dengan Galangan Kapal VOC di muka Pasar Ikan. Balaikota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta dibangun pada abad ke-18.

Perwira tampan ini poatang (ketahuan) saat berhubungan badan dengan Saartje Specx (12 tahun), puteri pedagang senior Jacques Specx, dari hasil 'kumpul kebo' dengan wanita Jepang. Kedua sejoli itu, atas permintaan gubernur jenderal JP Coen, dihukum berat. Saartje disiksa di halaman yang sama. Dia dipertontonkan di muka umum dengan dada terbuka. Anehnya, kedua sejoli itu melakukan perbuatan zina di kediaman JP Coen.

Karena menempuh perjalanan jauh dan penuh risiko, pada tahun 1630 pemerintah kolonial di Belanda melarang untuk mengirim wanitanya ke Asia. Suatu perkecualian dibuat bagi pegawai tinggi yang diizinkan membawa istri dan anak-anak mereka.

Akibatnya, Batavia menjadi daerah dengan banyak lelaki dan hanya sedikit wanita berkulit putih. Karena itulah mereka (orang-orang Belanda) mengawini para budak untuk dijadikan nyai, dan lahirlah keturunan Indo-Belanda.

Di Batavia orang Belanda memakai istilah mestizen untuk menyebut orang berdarah campuran antara Asia dan Eropa. Mereka memakai bahasa Portugis, umumnya bahasa yang dipakai pada abad ke-19 di Batavia.

Sejarawan Belanda, Hans Bonke, menyebutkan, janda-janda kaya dari pegawai Kompeni sangat disukai sebagai istri seorang bujangan yang ambisius. Dengan demikian terjadi hubungan keluarga di antara keluarga-keluarga penting yang mempengaruhi masa depan seseorang.

Lamanya perjalanan dari Belanda ke Batavia dengan kapal layar berbulan-bulan mengakibatkan rumah bordir banyak berdiri di Batavia sejak abad ke-17. Tentu saja tempatnya sekitar Pelabuhan Sunda Kalapa atau di sekitar Menara Syahbandara. Juga di Mangga Besar, Jakarta Barat, terdapat tempat pelacuran yang sama.

Orang Tionghoa menyebut pelacur sebagai suhian. Mungkin inilah awal kata ejekan sowean untuk seseorang dengan kata kasar. Di Mangga Besar, tempat pelacuran disebut macaupo, karena para PSK-nya didatangkan dari Macau.

Sampai abad ke-19 penisilin belum ditemukakan. Mereka yang terkena penyakit kelamin disebut terkena raja singa. Karena jalan orang yang terkena penyakit itu ngengkang, mereka disebut pehong -- berasal dari kata Tionghoa pehyong.

Di bagian sayap kanan Museum Sejarah Jakarta, Pangeran Diponegoro pernah mendekam sebelum dibuang ke Sulawesi. Menjawab pertanyaan tentang siapa-siapa yang pernah dipancung, yang pasti adalah Pieter Everbeld dan para pengikutnya yang dituduh ingin melakukan makar pada 1 Januari 1722. Sedang Bang Puasa, jagoan dari Kwitang (dituduh membunuh Nyai Dasima), dan Oei Tambasia (playboy dan pembunuh), dihukum di tiang gantungan.

Tempat eksekusi ini berada di bagian depan Museum Sejarah Jakarta. Yang menarik, saat eksekusi disaksikan orang ramai, karena diumumkan melalui corong dari kampung ke kampung. Rupanya peristiwa yang mengerikan ini kala itu sangat disenangi. Mungkin dianggap sebagai hiburan, hingga yang datang berduyun-duyun.

 

Lambang kekayaan dan status sosial seseorang di Batavia, disamping memiliki banyak budak, kepemilikan kereta kuda adalah lambang kekayaan. Nilai sebuah kereta kuda yang ditarik dua atau empat ekor kuda sama dengan mobil mewah sekarang. Di dalamnya terdapat meneer dan mevrouw yang dipayungi budak saat berkereta.

Masih ada satu persamaan lagi, yaitu memperpajak barang mewah dengan pajak khusus. Tahun 1717 dikeluarkan keputusan bahwa kereta kuda harus dipajaki. Seorang pengusaha kaya yang menolak ketentuan ini menghadapi pilihan: membayar pajak atau akan didenda dan dilarang untuk menggunakan kereta kuda selama-lamanya.

Berapa jumlah tahanan di gedung balaikota Belanda, tidak diketahui. Tetapi, jumlahnya bervariasi. Sampai 1763 dipakai untuk menahan seseorang karena ia berhutang, seumur hidup. Di kemudian hari hukuman ini diubah jadi enam tahun. Beberapa orang Cina memilih ditahan daripada harus melunasi hutangnya.

Ketika serdadu atau kelasi VOC jadi warga Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak. Celaka bagi para budak jika jatuh ketangan mereka. Karena, dipaksa kerja siang malam tanpa istirahat. Mereka menyiksa para budak yang malang dengan begitu kejamnya, sehingga sebagian besar putus asa dan bunuh diri. Bernand Dorleans dalam buku Orang Indonesia - Orang Prancis menuturkan, ketika ia berada di Batavia ada budak yang gantung diri, dan dua budak menggorok lehernya sendiri.

Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para wanita majikan lebih kejam lagi dengan bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata mereka dengan tontonan yang lebih  menyeramkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement