Senin 16 Nov 2015 07:00 WIB

Tukang Cukur Merangkap Ahli Bedah

Museum Bank Mandiri
Foto: Republika/Edi Yusuf
Museum Bank Mandiri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Lebih dari seribu pencinta sejarah DKI Jakarta, pada akhir pekan beberapa waktu lalu mengadakan plesiran tempo doeloe di 19 titik sejarah di kota tua Jakarta -- diselenggarakan oleh Sahabat Museum. Para peserta sejak pukul 07.00 pagi sudah berkumpul di Museum Bank Mandiri di Jalan Pintu Besar, Jakarta Kota.

Pada masa kolonial gedung itu bernama De Javasche Bank dan pada 1953, setelah di nasionalisasi, jadi Bank Indonesia. De Javasche Bank berdiri di Batavia, pada 24 Januari 1828, di tanah bekas rumah sakit (Binnenhospitaal) yang terletak persis di sebelah dalam kota tua.

Ketika rumah sakit tersebut didirikan pada pertengahan abad ke-18, pengobatan belum secanggih sekarang. Tidak heran, pasien yang dirawat lebih dari 50 persen meninggal dunia, sehingga Batavia mendapat gelar 'kuburan orang Belanda' setelah sebelumnya dijuluki 'Ratu dari Timur'.

Tapi, yang meninggal tanpa pengobatan di rumah sakit lebih banyak lagi. Sejumlah buku tentang Kota Tua menyebutkan, bukan suatu mengherankan, teman yang pada pagi harinya makan bersama kita keesokan harinya dikabarkan meninggal dunia. Di Pojok Jalan Rumah Sakit kala itu terdapat gereja milik rumah sakit yang digunakan umat Nasrani berbahasa Melayu.

Ada yang tidak masuk akal di rumah sakit yang dibangun pemerintah kolonial Belanda itu. Karena, etnis Tionghoa juga membangun rumah sakit yang tidak kalah hebatnya dengan RS Belanda. Letaknya di Jalan Tiang Bendera, sekitar satu km dari RS Belanda.

Di kedua rumah sakit itu tersedia beberapa orang dokter. Sementara di rumah sakit pemerintah pasiennya kebanyakan orang Belanda dan Eropa, tapi yang melakukan operasi adalah tukang cukur. Seperti cara di Eropa ketika itu, pisau cukur lebih dulu dibakar, agar steril, kemudian dipakai untuk membedah tubuh pasien.

Sayangnya, ketika itu obat bius tidak secanggih sekarang. Merupakan hal biasa, saat dan setelah dioperasi pasien meraung-raung, dan didengar pasien-pasien lain. Setelah operasi banyak yang meninggal karena infeksi akut. Belum ada obat sejenis penisilin ketika itu. Jadi, ketika itu tukang cukur punya profesi tambahan: dokter bedah.

Kala itu, perjalanan kapal dari Eropa ke Batavia rata-rata perlu waktu 11 bulan. Terusan Suez baru dibuka 1869, hingga kapal layar harus melalui Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Sesampainya di Batavia, banyak yang meninggal karena penyakit dan diterjang topan. Belum lagi mereka yang menjadi korban perompakan.

Para pendatang baru di Batavia keadaannya malah lebih menghawatirkan setelah menghadapi risiko dan kelelahan di perjalanan. Setibanya di Batavia dalam kondisi tubuh yang menurun terserang berbagai penyakit, khususnya malaria. Demam membuat mereka lebih lemah lagi dan menjadikan mereka semakin rentan terhadap penyakit lain, seperti disentri.

Salah satu penyebabnya, warga Belanda disamping mandi di kali atau kanal yang banyak mereka bangun di Batavia, juga minum air tersebut tanpa dimasak terlebih dulu. Mereka heran pada orang-orang Cina yang kesehatannya jauh lebih baik. Sebab, mereka minum air teh yang lebih dulu dimasak. Untuk menghindari penyakit, orang kaya Eropa di Batavia

mendatangkan air soda dari Eropa yang oleh orang Betawi disebut 'air Belanda'.

Untuk mengatasi banyaknya penderita penyakit, VOC membangun rumah sakit lain dekat benteng Noordwijk (kini Pasar Baru). Johannes Rach (1720-1783), perwira VOC yang melukis situasi kota Batavia abad ke-18 termasuk rumah sakit di Pintu Besar memperlihatkan belasan pasien, kebanyakan para pelaut yang tengah berkerumun di luar RS untuk memanaskan badan mereka di bawah matahari. Berjemur pada pagi hari

merupakan salah satu terapi pengobatan ketika itu.

Rach melukis beberapa pasien tidak memakai pakaian rumah sakit, hanya berpakaian tak beraturan, disebabkan rendahnya upah yang diberikan VOC pada umumnya. Akibat gaji yang rendah itulah salah satu alasan kenapa banyak prajurit VOC melakukan pungli -- hal yang juga dikeluhkan sekarang ini setelah kita merdeka.

Berdasarkan lukisan Rach, beberapa pasien berjalan di depannya dengan kaki telanjang, di jaga perawat-perawat pria bertongkat rotan. Saat itu para perawat sewaktu-waktu memukuli para pasien. Ini sesuai dengan metode penyembuhan saat itu.

Johannes Rach melukiskan seorang pria dengan topi aneh sedang berbicara dengan dua orang wanita berpakaian gaya Prancis (mode kurungan ayam). Dari kaca mata dan cara ia menyisipkan pena di telinganya menunjukkan pekerjaannya adalah apoteker kota. Di belakang kelompok itu, budak-budak sedang memakaikan pakaian pada kuda di samping kereta. Rumah-rumah di dalam tembok kota biasanya dikelilingi sebidang tanah yang dapat dimasuki dari beberapa sisi.

Tidak diketahui bagaimana nasib RS Tionghoa yang berada di Jl Tiang Bendera sekarang ini. Tapi pada awal abad ke-20 warga Cina mendirikan rumah sakit Jang Seng Ie di Jalan Mangga Dua, Jakarta Barat. Pada masa Bung Karno, dalam rangka nasionalisasi nama-nama asing, RS tersebut menjadi RS Husada.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement