Senin 11 Feb 2019 17:31 WIB

Jadi Wartawan; Minim Kesejahteraan, Rawan Dibungkam Penguasa

Dari zaman VOC hingga reformasi, penguasa sering membungkam kebebasan pers.

Kartu pers ilustrasi
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Kartu pers ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Hari Pers Nasional ditandai ketika pada 9 Februari 1946 terbentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo. Setelah kedaulatan, pada Januari 1950, para wartawan di Yogya hijrah ke Jakarta untuk mengadakan pertemuan di restoran Padang Merapi di Kramat Bunder, Senen, yang kini sudah berubah menjadi jalan raya di samping kiri proyek Senen. Di restoran tempat kumpulnya para seniman Senen ini dibentuklah PWI Kring Jakarta yang diketuai Tengku Sjahrir (Antara), sekretaris SM Syaaf (Merdeka), dan bendahara Mara Karma (Indonesia Raya).

Kini setelah reformasi muncul begitu banyaknya organisasi pers. Ketua Umum PWI Pusat Tarman Azzam pernah ditanya berapa jumlah organisasi pers dewasa ini hanya menjawab, 'Wallahu alam'.

Pada masa Bung Karno dan Pak Harto, PWI satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Tidak boleh ditandingi. Sayangnya, kesejahteraan para jurnalis masih menyedihkan.

Menurut survei yang dilakukan AJI terhadap 250 wartawan, gaji reporter di Indonesia menempati urutan keempat paling bawah, setelah Cina, Vietnam, dan India. Masih data hasil survei AJI pada 1994, dari 250 wartawan itu lima persen mengaku menerima gaji di bawah 250 ribu perak.

Sebesar 35 persen mendapat gaji antara setengah juta sampai satu juta, 20 persen antara Rp 1 juta-Rp 2 juta, dan hanya delapan persen di atas Rp 2 juta. Belum diketahui berapa rata-rata gaji insan pers saat ini.

Yang jelas masih banyak wartawan yang menerima upah jauh dari cukup untuk hidup layak. Sampai 1960-an, kehidupan wartawan lebih menyedihkan lagi, seperti masih banyak wartawan yang meliput berita naik sepeda atau becak.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement