Selasa 06 Feb 2018 16:06 WIB

Jakarta Kebanjiran Sejak Kerajaan Tarumanegara Hingga Hindia Belanda

Mushala Al-Innayah terkena banjir di kawasan Pejaten Timur,Jakarta, Senin (5/2).
Foto:
Petugas pemadam kebakaran mengevakuasi warga yang terjebak banjir di kawasan Pejaten Timur,Jakarta, Senin (5/2).

Pada 1895 pemerintah Hindia Belanda pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Belanda sangat sadar bahwa Jakarta merupakan dataran rendah yang potensial terlanda bencana banjir, karena daerahnya memang berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil).

Grand design itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta. Kini kawasan Puncak sudah semrawut dan beralih fungsi, sebagian sudah kehilangan hutan, akibat pembangunan vila-vila yang menyalahi tata ruang. Tidak heran kalau hujan turun di kawasan ini Jakarta kebanjiran karena hilangnya daerah resapan air.

Pada belasan abad sebelumnya, yakni abad ke-7, Jakarta berada di bawah pemerintahan Kerajaan Tarumanegara yang beragama Hindu. Seperti yang tertera pada Prasasti Tugu (kini disimpan di Museum Sejarah DKI Jakarta), untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya,Raja Purnawarman telah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati – Tangerang) sepanjang 12 km.

Untuk itu, sang raja telah menyembelih seribu ekor sapi. Para sejarawan memperkirakan, bila satu ekor sapi dagingnya dimakan untuk 100 orang, maka jumlah penduduk di sekitar kawasan itu pada 14 abad yang lalu sudah mencapai ratusan ribu jiwa.

Ketika melakukan penggalian tersebut, kebijakan pemukiman didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologi. Karena itu, rawa-rawa di pedalaman oleh sang raja boleh diuruk untuk pemukiman. Maka muncullah nama-nama kampung seperti Rawa Bangke di Jatinegara dan Rawa Anjing di Banten. Tetapi, rawa-rawa di pantai oleh raja dilarang untuk diuruk karena merupakan kawasan resapan air.

Sayangnya, ratusan haktar kawasan hutan lindung dan resapan air di Kapuk Muara, yang pada masa Kerajaan Tarumanegara dilindungi, kini disulap menjadi hutan belantara beton, berupa real estate, mal, kondominium, dan sebangsanya. Akibatnya, ekologi Jakarta rusak dan makin parah sejak dibukanya Pluit dan Muara Karang menjadi pemukiman merah. Padahal, semula merupakan daerah resapan air.

Keadaan diperparah dengan reklamasi Teluk Jakarta. Sejumlah ahli tata ruang kota menyebut, keberadaan pulau-pulau buatan itu bisa berdampak serius bagi Jakarta. Sebab, air yang seharusnya terbuang ke laut, terhalang pulau-pulau buatan. Belum lagi dampak lingkungan dengan hilangnya habitat ikan dan terumbu karang. Beberapa kawasan resapan air di Jakarta Selatan kini juga berubah fungsi.

photo
Foto udara pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Kamis (11/5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement