Sabtu 01 Apr 2017 07:00 WIB

Laris Manis Tayangan Mistik

 Wartawan senior Republika Alwi Shahab.
Foto: Republika/ Wihdan
Wartawan senior Republika Alwi Shahab.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Beberapa tahun lalu, program-program yang menayangkan kisah-kisah berbau mistik dan misteri merajai televisi. Judulnya pun bermacam-macam dan menyeramkan, seperti Hantu Cilik, Rahasia Alam Gaib, Pemburuan Hantu, dan Setan Gentayangan. Masih ada beberapa judul lain yang intinya sama, di samping serial Jelangkung dan Kolor Ijo.

"Jika Anda mengalami gangguan hantu, jin, dan setan hubungan kami, Pemburu Hantu." Demikian bunyi iklan dari sebuah stasiun televisi yang dimuat pada sebuah majalah berikut nomor telepon dan alamat pemasang iklan. Karuan saja maraknya tayangan macam begini membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) berang. MUI pekan lalu meminta agar tayangan yang menjurus pada kedangkalan akidah (syirik) segera dihentikan.

Sayangnya, seruan MUI ini seperti angin lalu. Bukannya berkurang, malah tayangan mistik bertambah. Sejak masa prasejarah kepercayaan pada hal-hal gaib telah berkembang di Indonesia, seperti kepercayaan hal-hal yang serba besar. Misalnya, pohon yang sangat besar dan menyeramkan, mereka percaya ada penghuni dan penjaganya. Pohon itu dipercaya dapat mendatangkan bencana bila penghuni dan penjaganya tidak senang.

Karena itu, pohon-pohon yang besar dan rindang serta tempat angker mereka 'keramatkan' agar tidak marah diberikan sesajen, seperti telur, makanan, lisong, mejan, dan kembang tujuh rupa. Meskipun dalam agama dilarang percaya tahayul, dalam era globalisasi dan modernisasi ini masih banyak orang yang percaya ada hantu, memedi, kuntilanak, dan nenek gerondong.

Bahkan, ada hari-hari nahas dalam menentukan pernikahan atau perkawinan seperti yang banyak ditayangkan di film India. Para ibu dulu akan melarang anak gadisnya mengurai rambut menjelang malam atau Maghrib.

"Itu sama juga memanggil kuntilanak. Kan memedi jenis ini rambutnya juga terurai," kata si ibu memperingatkan gadisnya. Almarhum Ran Ramelan dalam buku Condet Cagar Budaya Betawi menyebutkan, pada tempo doeloe hari Selasa dan Sabtu dipercaya sebagai hari nahas untuk memulai pekerjaan penting.

Karena itu, warga tidak mendirikan rumah pada hari-hari tersebut karena dianggap hari nahas atau sial. Upacara-upacara keagamaan sebelum masuknya Islam berintikan hubungan manusia dengan dunia arwah. Upacara-upacara sesajen, baik dalam pesta panen padi maupun nyadran, menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, adalah untuk memelihara keseimbangan dunia kosmis. Tempat-tempat yang dianggap punya kekuatan magis yang dapat memengaruhi keseimbangan kosmis itu dikeramatkan.

Misalnya, batu ampar, kali kawin, atau kali beradu. Kali kawin adalah bertemunya dua kali aliran sungai. Ridwan menyebutkan kepercayaan masyarakat Kalapa (Sunda Kelapa) pra-Islam bahwa arwah manusia masih memengaruhi kehidupan manusia yang hidup. Hubungan dengan supranatural dilakukan dengan puasa selama 40 hari. Pada hari ke-40 dinamakan Lebaran atau serutupan. Sesudah Lebaran biasanya dilakukan prosesi menuju ke permakaman yang dikeramatkan.

Ini adalah tradisi yang dilakukan oleh sang huluan rakyat biasa. Para resi melakukan 'mati suri', tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama 40 hari. Menurut Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) H Irwan Syafi'ie, setelah puasa 40 hari ditutup dengan mutih. Selama mutih, di samping tidak boleh tidur satu malam, dia juga tidak boleh berbicara serta meneduh di bawah pohon dan berada di lapangan. Setelah azan Subuh dia baru boleh masuk rumah.

Di dalam rumah (di bawah jurusan wuwungan) sudah tersedia ayam bekakak (pesmol atau ayam panggang). Juga bubur merah dan bubur putih, di samping disuguhi air kelapa ijo yang sediakan oleh gurunya. Di kamar telah tersedia air mandi dengan kembang tujuh rupa. Orang tersebut tidur telentang di gedebong pohon pisang ditutupi kain putih layaknya orang mati. Kemudian, disiram air kembang tujuh rupa.

Menurut Haji Irwan Syafi'ie, sebagian besar orang Betawi bukan saja tidak setuju, bahkan mengharamkan cara-cara demikian karena akan mengganggu akidah. Dia juga menyebutkan sebagai 'ilmu setan' berupa hadirnya arwah sesaat yang masuk ke dalam salah satu pemain sehingga melalui arwah yang masuk ke tubuhnya ia bisa makan beling, lampu, dan rumput. Di samping itu, mereka juga tidak merasa sakit saat tubuh dipecutin. Hal sejenis juga dalam permainan jelangkung.

Tokoh Betawi ini mendukung seruan MUI agar televisi segera menghentikan segala bentuk tayangan yang bersifat mistik. "Kalau di zaman Bung Karno dan Pak Harto tidak pernah muncul, sekarang kok didiamkan. Malah, dikembangkan melalui tayangan di berbagai televisi," ujarnya.

Sejumlah pakar pendidikan juga menyatakan keberatan terhadap maraknya tayangan misteri di televisi. "Program seperti itu membodohi masyarakat," kata Dr Arief Rahman. Kak Seto juga mengungkapkan hal yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement