Senin 22 Apr 2019 13:46 WIB
Kartini dan Islam di Jawa

Kisah Kartini, Sang Trinil dari Mayong

Kartini kecil sudah mulai terpapar dengan ketidakadilan adat Jawa.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Kartini dan dua saudaranya
Foto: Wikipedia
Kartini dan dua saudaranya

Sebuah cungkup beratap joglo berdiri di tengah-tengah sebidang lahan yang luasnya tak lebih dari dua per tiga dari ukuran lapangan bulu tangkis. Ketiga sisinya ter tutup rapat pagar tembok setinggi hampir 3 meter.

Kecuali tembok bagian depannya saja yang sengaja dikombinasikan dengan pagar motif teralis, hingga orang umum yang melintas bisa leluasa melihat bagian dalam (cungkup) yang atapnya ditopang oleh 12 saka (pilar) utama tersebut.

Karena lahan ini berada di tepi jalan utama kompleks Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah, dan letaknya berhadapan langsung dengan kantor BKK Mayong serta hanya beberapa meter dari kantor Koramil 05/Mayong.

Pintu utama pagar yang menghadap arah matahari terbit berada di tengah- tengah dengan keempat engselnya mengait pada sepasang gapura bergaya khas arsitektur Kalingga, dengan warna cat hijau muda serta kombinasi granit alam.

Tepat di atas gapura ini tertulis kalimat dengan huruf kapital ARI ARI RA KARTINI. Inilah gambaran sekilas Monumen Ari Ari RA Kartini, yang berada di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong.

Tak ada juru kunci atau penjaga khusus di monumen ini. Namun, bagi masyarakat umum yang akan berkunjung, diarahkan untuk menghubungi kantor Ketenteraman dan Ketertiban Umum (Tramtibum)

Kecamatan Mayong, yang berjarak kurang dari 20 meter dari monumen ini.

Kasi Tramtibum Kecamatan Mayong, Musha SH, yang mendampingi Re publika, menuturkan, dahulu di atas lahan ini berdiri bangunan rumah yang dihuni Mas Ajeng (MA) Ngasirah, ibu kandung dari Raden Ajeng (RA) Kartini. MA Ngasirah, kata dia, meru pakan garwa ampil (selir)Raden Mas (RM) Semangun Sosroningrat saat menjadi Wedana di Mayong.

Sayangnya, tak ada lagi yang tersisa dari bangunan rumah yang dimaksud. Karena-umumnya-bangunan yang dulu berdiri di kompleks Kawedanan Mayong tersebut juga telah berganti dengan bangunan yang relatif baru. Kecuali, sebuah sumur tua yang memang lokasi dan keberadaannya masih asli.

Sumur ini berada tepat di sisi kiri pintu utama menuju cungkup. Secara fisik, sumur ini telah direhab sedemikian rupa untuk menyesuaikan aksen bangunan yang ada kompleks cungkup tersebut. Sementara, di sudut belakang sebelah kiri dari kompleks monumen ini--sebelah cungkup--berdiri sebuah tugu tetenger.

Tugu yang diberi pengaman teralis dengan bentuk kerucut ini bertuliskan Tempat RA Kartini Dilahirkan 21 April 1879. Di bagian paling bawah (kaki) tugu ini tertulis "10 Nopember 1951" yang disebutnya merupakan tanggal, bulan, dan tahun pembuatan tugu tersebut. "Lokasi ini dipercaya merupakan bagian kamar, tempat MA Ngasirah melahirkan RA Kartini," kata Musha.

Hal ini dikaitkan dengan tradisi di mana masyarakat Jawa saat itu akan mengubur ari-ari (plasenta) jabang bayi yang baru dilahirkan, di bagian longan atau di bawah kolong tempat tidurnya. "Sehingga, tempat di mana tugu ini berdiri diyakini merupakan lokasi penguburan ari-ari sekaligus menjadi kamar tempat RA Kartini dilahirkan," ujar Musha melanjutkan.

Sementara, tepat di tengah- tengah bangunan utama cungkup, masih ada sebuah monumen berbentuk Bunga Teratai yang ditutup dengan kaca. Monumen bunga teratai tersebut memiliki tinggi sekira satu meter.

Hal yang khas dari monumen bunga teratai ini adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan angka tanggal, bulan, serta tahun kelahiran Kartini. Jumlah kelopak bunga teratai bagian kedua dari atas yang berjumlah 21.

Bagian atas bunga teratai ini berupa kuncup yang telah mekar dengan kelopak berjumlah Sembilan dan di tengah- tengahnya dipasang empat buah lampu yang mengelilingi sebuah kendil yang oleh orang Jawa jamak digunakan sebagai wadah ari-ari yang akan dikubur. Di bawah kelopak berjumlah 21 yang telah mekar terdapat tujuh ornamen ukiran serta kelopak paling dasar berjumlah 18.

"Jika simbol-simbol ini dirangkai, akan bermakna 21 April 1879," kata Musha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement