Rabu 13 Jun 2018 05:01 WIB

Sosok Orang Betawi pada Jalanan Lebaran Jakarta yang Lengang

Sosok orang Betawi kebanyakan hanya muncul pada nama gang atau jalanan kampung.

Ratusan kendaraan antre menuju Jakarta Fair Kemayoran 2017 di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (29/6).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ratusan kendaraan antre menuju Jakarta Fair Kemayoran 2017 di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (29/6).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Jangan salah paham dulu ketika mendengar nama Haji Mencong! Sebab, sama sekali tidak hendak mengolok-olok atau menyematan sebutan pejoratif kepadanya. Ini karena Haji Mencong yang dimaksud adalah sebutan bagi sebuah  ruas jalan di dekat Jalan Ciledug Raya yang berbatasan dengan Joglo, Kreo, dan Ciledug  arah pinggir selatan-barat Jakarta.

Nama jalan itu resminya telah diubah menjadi jalan H.O.S Cokroaminoto. Namun, meski sudah diganti dengan nama dari sosok bapak bangsa yang menjadi guru ideologi tokoh bangsa seperti Sukarno, Semaun, Musso, Alimin, dan Kartosuwiryo itu namun masyarakat tetap menyebut jalan itu dengan sebutan jalan Haji Mencong.

Menurut penghuni lama kawasan itu yang merupakan orang 'Betawi Ora' (Betawi Pinggir) sebutan Haji Mencong lebih dekat ke ke ujung lidah, lebih enak diucapkan.''Kagak enak lah. Pakai HOS..HOS..Segala..Susah benar yak. Mantepan Haji Mencong,'' kata Bang Ahmad anak kampung Paninggilan yang seharian kerjanya menjadi tukang ojek yang mangkal di jalan tersebut.

Dari cerita Ahmad, Haji Mencong adalah seorang kaya  yang punya tanah luas. Sebagaian berupa lahan sawah dan pekarangan. Karena saking luas lahannya, ketika lahannya berkembang menjadi permukiman maka untuk mengenangnya ruas jalan yang melewati bidang tanah itu disepakat diberi 'sebutan'  sesuai namanya. Keturunnya yang ketiga ketiga kini masih tinggal di sana. Berbeda dengan sang engkong, lahan mereka sudah sangat menyempit akibat dijual untuk berbagai keperluan, salah satunya ya naik haji, ngawinin anak, sunatan.

Bagi orang Betawi tanah dan haji selalu punya hubungan yang erat. Semua sudah mahfum, suku yang merupakan 'warga asli' ibu kota ini  bisa dibilang penganut Islam yang taat. Sikap istiqamah ini dulu pernah dipuji ulama besar Buya Hamka dengan menyebut sebagai suku yang sangat kokoh memegang. Menurut Hamka meski hidup susah, miskin, dan tinggal diperumahan sederhana dapat dipastikan mereka semuanya beragama Islam. Kalau pun ada yang klaim bahwa ada juga warga Betawi yang non muslim, itu adalah pernyataan dari orang yang melihat kaum pendatang yang datang ke Betawi pada kurun belakangan, yakni di awal abad ke 20. Data menyatakan meski ratusan tahun hidup di bawah 'sepatu kolonial', ternyata hanya beberapa gelintir orang Betawi yang mengganti agamanya.

Kekentalan 'warna budaya' Betawi dengan ajaran Islam juga dibenarkan 'Dai Sejuta Umat, KH Zainuddin MZ. ''Mungkin mereka tak taat betul, misalnya shalatnya bolong-bolong, tapi kalau soal agamanya dilecehkan, maka orang Betawi akan langsung bangkit tak terima. Nyawa dijadikan taruhannya,'' begitu kata Zainuddin yang anak asli Betawai asal kampung Gandaria itu. Rumah Zainudin kini pun terselip di dalam gang Haji Aom seolah  'ngumpet' di antara megahnya apartemen dan Plaza Gandaria City.

photo
Jajaran daun kelapa dan aneka ketupap di pinggir jalan Kebayoran Lama dua malam jelang lebaran. Tadisi ini terjadi setiap tahun. (muhammad subarkah)

Lalu bagaimana soal hubungan sosok orang Betawi, haji, dan tanahnya? Situasi segitiga ini memang unik. Mendiang Gus Dur dulu pernah berseloroh bila  kenaikkan calon jamaah haji asal Betawi itu berbanding lurus dengan banyaknya penggusuran di Jakarta. Ini masuk akal sebab semenjak kota Jakarta mulai menggeliat dari 'Kampung Besar' menjadi kota metropolitan pada akhir 50-an (kini sudah jadi megapolitan), pada saat itu mulai banyak penggusuran. Proyek penggusuran pascakemerdekaan di Jakarta dimulai ketika terjadi pembangunan kawasan Jl Jendral Sudirman, MH Thamrin hingga kawasan Senayan. Di sana ada pembangunan pusat perbelanjaan Sarinah, Jembatan Semanggi, hingga kompleks olah raga, gedung parlemen , staudio TVRI, Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno), hingga pembuatan Jl Gatot Subroto.

Nah, sebagai akibat menggeliatnya pembangunan kota Jakarta, perubahan sosial dikalangan warga Betawi semakin kencang terjadi. Tiba-tiba banyak orang Betawi  memindahkan tempat tinggalnya karena lahannya terkena proyek pembangunan. Dan, bila ada sisa sedikit uang dari hasil ganti rugi tanah, maka salah satu cara menghabiskannya adalah mereka pakai untuk naik haji. Akibatnya, jumlah orang Betawi yang memang dari dulu sudah gemar mengenakan peci putih, semenjak peristiwa itu  semakin banyak memakai peci tersebut. Tapi kini peci putihnya itu merupakan 'inagurasi' bahwa mereka sudah menunaikan rukun Islam kelima.

Situasi seperti itu terus meningkat seiring datangnya masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin dan hadirnya masa Orde Baru yang membuat program 'pemoderenan' Jakarta. Pabrik dan kompleks industri bermunculan. Lahan diperjualbelikan secara bebas. Uang hasil jual beli atau akibat 'gusuran tanah' berhamburan di kalangan orang Betawi yang saat itu masih punya lahan yang luas. Bukan hanya itu, naik haji semakin mudah seiring mulai dipakainya pesawat terbang untuk mengangkut jamaah haji. Berbarengan dengan ini, harga tanah tiba-tiba melonjak drastis. Orang-orang Betawi benar-benar menikmati 'booming harga' tanah.

Maka dapat ditengarai ketika sekarang muncul berbagai nama jalan dan lorong gang di Jakarta yang menggunakan sebuah nama bergelar haji, maka mereka itulah yang dahulu sang empunya lahan di kawasan itu. Haji Mencong bisa jadi adalah salah satunya. Dan di kalangan kampung Betawi lain yang tinggal di kawasan Kuningan pun sudah semenjak dulu muncul sebutan 'Haji Mansur' untuk menyebut mereka yang pergi haji karena 'halaman (rumah) tergusur!'
                                                                        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement