Selasa 24 Apr 2018 16:05 WIB

Ke Belanda Lewat Menteng

Di era kolonialisme, bahasa Belanda hanya untuk kalangan Belanda.

Euro Management
Foto:
Peserta kelas bahasa Belanda sedang ujian midsemester.

Setelah tak Ada Hambatan

Setiap Mevrouw Nurul Primayanti meminta peserta kelas lanjutan bahasa Belanda membacakan pekerjaan rumah, selalu saja pada menunjuk Firman Sutrisna. Mahasiswa Unaiversitas Negeri Jakarta (UNJ) yang memiliki darah Belanda ini, sudah lebih mahir daripada peserta lainnya.

Kadang Firman memilih diam untuk memberi kesempatan yang lain. Jika kelas tetap sunyi, Nurul yang angkat bicara. ‘’Untuk tingkat kalian, harusnya begitu mendengar kata, langsung menyusun kalimat,’’ kata Nurul.

Saat itu, kelas sedang berlatih menyusun kalimat menggunakan kata konjungsi. ‘’Itu semakin memacu kita buat mau coba belajar terus dan terus,’’ ujar Aprisany Enggelinn Aryesta, wartawan Daai TV Apri memilih bahasa Belanda lantaran tata bahasanya lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Prancis. Lewat kelas bahasa Belanda di Menteng ini, ia juga ingin sekali mendapat beasiswa ke Belanda.

Karenanya, ia sangat senang Nurul banyak cerita tentang kondisi Belanda dan penggunaan kalimat dalam konteks budaya Belanda. Nurul pernah tinggal enam tahun di Belanda, kuliah S1 dan S2. Karena kuliahnya jurusan teknik, ia harus memperdalam bahasa Belanda untuk bahasa teknik selama enam bulan.

Apalagi banyak materi kursus yang terkait dengan budaya Belanda. Misalnya soal kebiasaan makan. Nurul fasih bercerita cara orang Belanda memperlakukan bumbu yang di masa kolonial banyak diambil dari Nusantara.

Bumbu memang menjadi barang mewah di Belanda. Untuk kalangan yang mengerti nilai bumbu, akan memajang bumbu-bumbu mentah di dapur mereka, bukan memajang bumbu instan yang biasa dimiliki banyak kalangan di Belanda, karena terbiasa memasak secara praktis.

Saya menjadi teringat kisah masa lalu, bahwa rempah dangat dibutuhkan di Belanda mula pertama untuk mengawetkan daging. ‘’Amsterdam sebenarnya dibangun di atas rasa daging busuk,’’ tulis Mike Dash di Batavia’s Graveyard.

Di awal abad ke-17 itu, ketika cara pengawetan bahan makanan baru berkembang, daging yang dijual disimpan di lemari dengan cara digantung. Tentu saja membusuk dan berasa asam. Lada diperlukan untuk 'membungkusnya' agar daging terhindar dari rasa asam dan busuk.

Rempah-rempah menjadi barang yang banyak dicari. Mereka mendapatkannya di Hindia Belanda (Nusantara), yang dipanen secara tradisional, diangkut binatang piaraan dan kapal kecil ntuk sampai di pelabuhan-pelabuhan. Meski sejak zaman Romawi bangsa Eropa telah mengenal rempah, tetapi persediaannya tidak mencukupi, sehingga yang mempunyai hanya orang-orang kaya.

Tetapi, 300 tahun Belanda terlena dalam perburuan rempah. Sempat pula berpuluh tahun sibuk mengembalikan kerugian akibat perang sehingga mengeksploitasi pribumi dengan tanam paksa. Akibatnya sangat pelit mengajarkan bahasa Belanda ke pribumi Nusantara.

Kini tak ada larangan mempelajari bahasa Belanda. ‘’Saya pengen dapat beasiswa ke Leiden atau sejenisnya, pengen mempelajari atau mengembalikan literatur asli sejarah bangsa Indonesia,’’ ujar Achmad Zamroni Imron kepada saya mengenai motivasinya ikut kelas Belanda di Euro Management Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement