Senin 12 Mar 2018 03:15 WIB
Supersemar

Andai tak Ada Supersemar, tak Mungkin Soeharto Jadi Presiden

Supersemar disebut sebagai jimat kekuasaan Soeharto.

Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Foto: Antara
Presiden ke-2 RI, Soeharto.

REPUBLIKA.CO.ID, Naskah asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) setelah 49 tahun masih menjadi misteri. Naskah Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) diduga palsu karena sampai saat ini ANRI belum dapat membuktikan keaslian dari dokumen tersebut.

Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong, menyatakan naskah asli Supersemar yang dibuat Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 untuk Soeharto, masih berada di tangan keluarga Soeharto. Pasalnya, ia menilai Supersemar merupakan “jimat kekuasaan” bagi Soeharto.

“Secara sederhana, pendapat saya dilandasi pikiran bahwa Supersemar bagi Pak Harto adalah semacam jimat, jadi tidak mungkin diserahkan ke orang lain,” ujar Anhar, saat dihubungi Republika.

Menurutnya, Supersemar menjadi alat politik bagi Soeharto dalam mendapatkan jalan untuk menjadi Presiden. Sehingga secara logika, seseorang akan menyimpan “jimat” yang membuatnya berkuasa.

“Andaikata tidak ada Supersemar, tidak mungkin Soeharto jadi presiden. Karena Supersemar, terbukalah jalan bagi dia,” jelas dia.

Alasan itulah yang menyakinkan Anhar, jika naskah asli Supersemar sebenarnya tidak hilang, melainkan disimpan Soeharto. Namun, Anhar sendiri masih bertanya-tanya, setelah Soeharto meninggal, siapa keluarganya yang diberi mandat untuk menyimpan naskah bersejarah tersebut.

photo
Soeharto dan G30S PKI

“Selama ini kalau ada orang yang mengaku menemukan Supersemar, saya tidak percaya, itu bohong dan sekedar ingin mencari sensasi,” kata dia.

Terbitnya Supersemar dinilai Anhar sebagai permainan politik antara Soekarno dan Soeharto. Dalam Supersemar, ada langkah-langkah politik yang kemudian menggiring Soeharto sampai pada bangku kekuasaan.

"Jadi adalah keliru kalau orang menganggap bahwa Supersemar yang diambil oleh Soekarno dan diberikan kepada Soeharto, tidak memiliki maksud politik," ujar Anhar.

Menurut Anhar, dalam Supersemar, Presiden Soekarno memberikan tugas kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat pada masa itu, untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menertibkan situasi keamanan yang sedang kacau kala itu. Namun, ada beberapa hal yang dilupakan Soeharto dalam Supersemar sebagai langkah politik untuk mencapai kekuasaan.

"Di dalam Supersemar ada ketentuannya yang menyatakan, Soeharto harus menjaga wibawa Presiden Soekarno, tapi itu terlupakan," jelas Anhar.

Setelah mendapatkan Supersemar, pada 12 Maret 1966 Soeharto menggunakan posisinya sebagai pemegang Supersemar untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan demikian satu masalah tuntutan rakyat telah diselesaikan Soeharto meski saat itu Bung Karno tidak menyetujui.

"Rakyat menuntut pemerintah dengan tiga tuntutan, salah satunya untuk segera membubarkan PKI," kata dia.

Setelah Soeharto membubarkan PKI, tambah Anhar, ada isu yang mengatakan jika Presiden Soekarno akan menarik Supersemar dari tangan Soeharto. Namun, para pendukung Soeharto di orde baru menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan MPR, sehingga Bung Karno tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Tidak mungkin Ketetapan MPRS sebagai lembaga tinggi negara kala itu, dihapuskan oleh presiden, jadi secara politik, permainan dimenangkan lagi selangkah oleh Soeharto," ujar dia.

Anhar juga mengatakan saat ini secara politik, tugas Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) telah selesai. Sebab, kedua pemimpin negara yang terlibat di dalam peristiwa itu, Soekarno dan Soeharto, kini telah wafat.

“Orang-orang yang percaya Soekarno dikudeta Soeharto melalui Supersemar saat ini mau apa? Buat apa diributkan lagi karena tugasnya sudah selesai,” jelas Anhar.

Menurutnya, saat itu Supersemar merupakan permainan politik antara Soekarno dan Soeharto. Dalam permainan, kata dia, sudah pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Dan, saat ini permainan itu sudah usai.

"Bagi Soeharto, Supersemar merupakan alat politik untuk menang dalam permainan politik," ujar dia.

Ia menuturkan Supersemar pada masa kini cukup diperingati oleh masyarakat yang mau memperingatinya dengan tujuan tertentu. Bagi yang senang menulis, tambah dia, bisa mencari fakta dan menganalisa peristiwa tersebut berdasarkan teori dan konsep yang mereka tahu, bisa digunakan.

“Silakan saja diperingati, tidak perlu dipaksakan dan tidak perlu diributkan,” kata Anhar.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement