Jumat 02 Feb 2018 16:17 WIB

MIAI dan Deretan Ormas Islam yang Berjuang Mendirikan Indonesia

Berkat MIAI, umat Islam di Tanah Air terselamatkan dari serangan penjajah.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Gedung MIAI
Foto: screenshot
Gedung MIAI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Publik kembali digugah akan sejarah umat Islam dan para ulama dalam berperan mendirikan bangsa ini. Hal ini terkait dengan beberapa pernyataan perwira polisi yang menjadi viral karena jauh dari fakta sejarah.

Seperti yang disampaikan calon wakil gubernur Jawa Barat, Anton Charliyan soal Panitia Sembilan di salah satu acara televisi swasta. Serta video Kapolri Tito Karnavian yang menyatakan hanya dua ormas Islam NU dan Muhammadiyah sebagai pendiri bangsa.

Walaupun koreksi dan klarifikasi telah disampaikan, tetapi sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara meminta pejabat dan perwira kembali membaca peran ulama dan umat Islam sebelum kemerdekaan dan selama masa revolusi. Salah satu peran tokoh Islam dari berbagai organisasi tersebut, menurutnya ada dalam fakta sejarah perjalanan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI).

Guru besar sejarah dari Universitas Padjadjaran ini mengungkapkan Majelis Islam A'la Indonesia atau MIAI adalah wadah bagi ormas Islam di Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan. Wadah perjuangan ormas Islam dibentuk pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937.

Dalam MIAI saat itu tergabung di antaranya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Jong Islamiaten Bond, Al Ittihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Awalnya MIAI sebatas mengoordinasikan berbagai kegiatan, tetapi belakangan MIAI menjadi wadah persatuan umat Islam Tanah Air menghadapi politik penjajah Belanda. Dalam buku berjudul 'Api Sejarah' yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara, dipaparkan peran MIAI menghadapi politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda.

Jelang 1941, saat itu umat Islam Indonesia dalam menghadapi Perang Dunia II dan di kawasan Asia dikenal Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Belanda yang merupakan sekutu Amerika mendapat perlawanan dari Nippon. Namun berkat MIAI, umat Islam di Tanah Air pada saat itu menjadi terselamatkan.

Salah satu alasannya adalah jasa para ulama dan pimpinan politik Islam yang bersatu dalam wawasan dan gerak juangnya dalam wadah Majlis Islam A'la Indonesia. Dengan terbentuknya wadah gabungan seluruh umat Islam Indonesia ini, maka komponen umat Islam di Hindia Belanda saat itu terlupakan upaya memecah belah antar ulama dan parpol Islam.

"Upaya memecah belah ini, merupakan produk politik devide and rule pemerintah kolonial Belanda," tulis Mansur dalam buku 'Api Sejarah 2' Peran Ulama dalam Membangun Organisasi Militer Modern. Setelah priyayi pendukung Belanda, termasuk priyayi, bupati dan kelompok feodal melakukan penghinaan terhadap kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam dan agama Islam.

Di antaranya Dr. Soetomo dan Regent Bandoeng R.A.A Wiranata Koesoema dalam tulisannya menghina kehidupan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Beruntung upaya memecah antar ulama dan organisasi Islam itu tidak terjadi. Hal ini karena adanya kesadaran bersama atas common enemy atau musuh bersama yakni penjajah Belanda dengan para pengikut dan pembantunya.

"Di saat tumbuhnya kesadaran bersama ini, debat persoalan furu dan khilafiyah antar ulama semakin berkurang," ungkap Mansur. Sehingga selama periode 1939-1945, masa-masa perang dunia II terjadi, para ulama di Indonesia melalui wadah Majlis Islam A'laa Indonesia dapat duduk bersama dalam satu majelis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement