Rabu 24 Jan 2018 22:13 WIB

Mengenang Daoed Joesoef, Pejuang Pendidikan Indonesia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Mantan Menteri Pendidikan di era Presdien Soeharto, Daoed Joesoef
Foto: Antara
Mantan Menteri Pendidikan di era Presdien Soeharto, Daoed Joesoef

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Pendidikan era Presiden Soeharto periode 1978-1983, Daoed Joesoef meninggal dunia pada Rabu (24/1) pagi dalam usia 91 tahun. Mantan Menteri Pendidikan yang kala itu dikenal dengan Menteri P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan) tersebut sering dikenal dengan kebijakan di bidang pendidikan yang cukup kontroversial, khususnya terhadap para aktivis kampus dan kalangan umat Islam kala itu.

Sebagai Menteri P dan K saat itu, Daoed Joesoef dikenal sosok yang sangat keras memegang prinsip terutama dalam setiap pilihan kebijakannya. Lantas pria kelahiran Medan, Sumatra Utara, 8 Agustus 1926 ini dipercaya Presiden Soeharto untuk mengembalikan semua kegiatan belajar di kampus bersih dari aktivitas politik praktis. Padahal saat itu mahasiswa menjadi pengkritik paling keras kebijakan Presiden Soeharto.

NKK/BKK Alat Membungkam Sikap Kritis Mahasiswa

Untuk menghentikan kegiatan politik mahasiswa, Daoed Joesoef kemudian menetapkan aturan baru yang sering dingkat NKK/BKK kepada semua kampus di Indonesia. NKK/BKK yang merupakan kepanjangan dari Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan, adalah langkah Daoed Joesoef untuk menolak semua bentuk sikap politik organisasi kemahasiswaan. NKK/BKK sering disebut alat pemerintah untuk membungkam sikap kritis para aktivis mahasiswa di kampus pada akhir 1979.

NKK/BKK merupakan kebijakan penataan organisasi kemahasiswaan, dengan cara menghapus organisasi kemahasiswaan yang lama, berupa Dewan Mahasiswa dan diganti dengan format yang baru. NKK/BKK yang digunakan untuk membatasi mahasiswa untuk berpolitik ini merupakan rentetan panjang sikap protes mahasiswa kepada pemerintah. Di mana sebelumnya gerakan mahasiswa yang dipelopori Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melakukan protes unjuk rasa secara terus menerus kepada pemerintah.

Protes terhadap pemerintah Soeharto oleh para aktivis mahasiswa dimulai ketika seruan Golput (golongan putih) beberapa ekponen '66' untuk menolak pelaksanaan pemilu 1971. Pemilu pertama era orde baru yang dianggap hanya untuk memuaskan kekuasaan Golkar saat itu. Gerakan golput ini lantas mendapatkan dukungan dari para mahasiswa yang kemudian menyebarkan ajakan golput melalui selebaran dan panflet.

Protes para mahasiswa terus berlangsung walaupun gerakan golput mendapat respon keras dari pemerintah saat itu, melalui tindakan aparat keamanan. Pada 1973, protes dari mahasiswa kembali terjadi ketika niat pemerintah membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saat itu mahasiswa menilai pembangunan TMII bukanlah untuk kepentingan rakyat namun demi kepentingan Ibu Tien, istri dari mediang pak Harto.

Protes penolakan TMII itu pun dialamatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta, Gubernur saat itu Ali Sadikin sebagai pelaksana proyek. Sedangkan ketua pelaksana proyek dijabat langsung oleh Ali Moertopo, orang kepercayaan Soeharto. Upaya diskusi dengan pemerintah gagal menghentikan pembangunan TMII oleh Yayasan Harapan Kita yang diketuai Ibu Tien.

(Baca Juga: Innalillahi, Daoed Joesoef Mendikbud Era Orde Baru Wafat)

Mahasiswa pun terus menggelar protes dan menolak pembangunan TMII tersebut. Lagi-lagi pemerintah orde baru bersikap tegas dengan suara-suara protes oleh mahasiswa ini. Presiden Soeharto turun langsung menginstruksikan aparat keamanan (ABRI) untuk menghentikan protes dan membungkam penolakan mahasiswa tersebut.

Puncak dari protes terus menerus mahasiswa terhadap pemerintah orde baru saat itu adalah meletusnya peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari 1974. Penolakan mahasiswa terhadap investasi Jepang yang masuk secara masif ke Indonesia. Untaian protes mahasiswa sejak 1971 itu kemudian pecah di peristiwa Malari sebagai protes mahasiswa secara besar-besaran pertama kali terhadap pemerintahan orde baru.

Saat itu mahasiswa bersama masyarakat turun ke jalan di Jakarta, menolak kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei. Para mahasiswa turun ke jalan dan membakar kendaraan di wilayah Jakarta Pusat hingga Jakarta Barat. Berbagai ratusan kendaraan dan bangunan dibakar serta toko dijarah, sehingga asap hitam saat itu mengebul di berbagai sudut Jakarta.

Protes mahasiswa ini berubah menjadi kerusuhan warga setelah aparat tak bisa berbuat banyak kecuali melakukan tindakan represif. Alhasil Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Mardean Panggabean menyebut 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap.

Atas rentetan protes mahasiswa yang diluar kendali itulah, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef membuat aturan ketat membungkam semua aktivitas politik di kampus melalui kebijakan NKK/BKK. Kebijakan Menteri Pendidikan Daoed Joesoef ini kemudian dilanjutkan oleh menteri pendidikan selanjutnya Nugroho Notosusanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement