Rabu 25 Oct 2023 19:02 WIB

Selandia Baru Buka Penyelidikan Serangan Teror Masjid Christchurch

Penyelidikan dijadwalkan berlangsung selama enam pekan.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Seorang korban penembakan di masjid merayakan dengan para pendukungnya setelah Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, di luar Pengadilan Tinggi di Christchurch, Selandia Baru, 27 Agustus 2020. Warga Australia Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat karena terorisme, 51 dakwaan pembunuhan dan 40 dakwaan percobaan pembunuhan, atas serangannya terhadap dua masjid di Christchurch pada 2019.
Foto: EPA-EFE/MARTIN HUNTER
Seorang korban penembakan di masjid merayakan dengan para pendukungnya setelah Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, di luar Pengadilan Tinggi di Christchurch, Selandia Baru, 27 Agustus 2020. Warga Australia Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat karena terorisme, 51 dakwaan pembunuhan dan 40 dakwaan percobaan pembunuhan, atas serangannya terhadap dua masjid di Christchurch pada 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru telah membuka penyelidikan atas pembunuhan 51 orang oleh seorang yang mengaku supremasi kulit putih di dua masjid di Christchurch pada 2019. 

“Saya hanya meminta agar kita menjadikan 51 orang yang tewas, dan tujuan bersama tersebut sebagai pusat sidang ini,” kata Wakil Kepala Koroner Brigitte Windley saat membuka persidangan, dilansir dari laman Aljazirah, Selasa (24/10/2023).

Baca Juga

Windley mengatakan penyelidikan yang dijadwalkan berlangsung selama enam pekan akan berusaha mengungkap apa yang terjadi dan mempertimbangkan untuk membuat rekomendasi guna mengurangi kemungkinan kejadian serupa terulang kembali.

Adapun serangan pada 15 Maret 2019 di kota selatan tersebut merupakan penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru dan mengejutkan negara tersebut. Pelaku penembakan, Brenton Tarrant asal Australia, kini menjalani hukuman seumur hidup di penjara setelah dinyatakan bersalah atas 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan, dan satu dakwaan melakukan tindakan teroris.

Di samping itu, keluarga dan teman-teman memadati pengadilan untuk sesi pembukaan yang penuh emosi. Pembukaan diwarnai sambutan tradisional Maori, pembacaan Alquran dan video penghormatan yang mengharukan untuk setiap korban.

Penyelidikan tersebut akan mengkaji 10 isu. Hal ini termasuk respons dari layanan darurat dan staf rumah sakit, apakah pria bersenjata tersebut mendapat bantuan langsung dari orang lain dan penyebab kematian masing-masing korban meninggal. Windley diperkirakan baru akan merilis temuannya pada 2024.

Di sisi lain, pengamat diperlihatkan video mengerikan yang menggambarkan pergerakan pria bersenjata di sekitar Christchurch pada hari serangan, termasuk rekaman yang dia rekam menggunakan kamera GoPro. Pemeriksaan tersebut akan memeriksa waktu respons polisi dan layanan darurat, respons medis di masing-masing masjid, apakah Tarrant dibantu dalam merencanakan serangan tersebut, dan apakah ada nyawa yang bisa diselamatkan.

“Pengejaran kebenaran ini sangat penting untuk penyembuhan dan penuntasan bagi keluarga korban,” kata juru bicara 15 March Whanau Trust yang mewakili beberapa kerabat korban, Maha Galal.

“(Keluarga para korban) bersatu dalam upaya mencapai pemahaman, mencari kejelasan apakah orang yang mereka cintai bisa selamat”, lanjut Galal.

Sementara Perdana Menteri saat itu Jacinda Ardern bergerak cepat memperketat undang-undang kepemilikan senjata, setelah serangan tersebut dan memberikan tekanan pada raksasa media sosial untuk mengekang ekstremisme online.

Sebuah Komisi Penyelidikan Kerajaan mengenai penembakan tersebut menemukan badan intelijen telah teralihkan dari ancaman sayap kanan karena mereka terlalu fokus pada ancaman aktivitas ekstremis Islam. Namun, laporan setebal 800 halaman tersebut menyimpulkan meskipun kesalahan telah dilakukan, serangan tersebut tidak dapat dicegah.

Setelah dibebaskan, Ardern meminta maaf atas kekurangan pemerintah dan mengakui kegagalannya. “Pada akhirnya, laporan setebal 800 halaman ini dapat disaring menjadi satu premis sederhana: Muslim Selandia Baru harus aman. Siapa pun yang menyebut Selandia Baru sebagai rumahnya, tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual harus aman,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement