Rabu 26 Jul 2023 07:26 WIB

Rasisme Terhadap Muslim di Eropa Telah Meningkat Signifikan

Ujaran kebencian terhadap Muslim di Eropa dapat ancam koeksistensi dalam masyarakat

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Seorang wanita muslim Bosnia berduka di sebuah makam di Pusat Peringatan di Potocari, Bosnia, Ahad, 10 Juli 2022. Ribuan orang berkumpul di kota Srebrenica di Bosnia timur untuk memperingati ulang tahun ke-27 pada hari Senin dari satu-satunya genosida yang diakui di Eropa sejak Perang Dunia II.
Foto: AP/Armin Durgut
Seorang wanita muslim Bosnia berduka di sebuah makam di Pusat Peringatan di Potocari, Bosnia, Ahad, 10 Juli 2022. Ribuan orang berkumpul di kota Srebrenica di Bosnia timur untuk memperingati ulang tahun ke-27 pada hari Senin dari satu-satunya genosida yang diakui di Eropa sejak Perang Dunia II.

REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Ujaran kebencian dan rasisme terhadap Muslim di Eropa telah meningkat secara signifikan. Kepala Pusat Peradaban Hamad bin Khalifa di Kopenhagen, Abdul Hamid Al-Hamdi, mengatakan ujaran kebencian terhadap Muslim di Eropa dapat mengancam koeksistensi dalam masyarakat.

"Fenomena kebencian terhadap Muslim Eropa telah menjadi topik diskusi di sebagian besar media Eropa dan telah diakui oleh beberapa departemen pemerintah," kata Al-Hamdi, dilaporkan Middle East Monitor, Selasa (25/7/2023).

Baca Juga

Al-Hamdi mengatakan, Kementerian Dalam Negeri Jerman menerbitkan sebuah laporan yang menyimpulkan bahwa minoritas Muslim di Jerman adalah yang paling rentan terhadap diskriminasi rasial dan ujaran kebencian.

Pada akhir Juni, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan laporan yang disiapkan oleh Kelompok Pakar Independen tentang Permusuhan terhadap Muslim. Laporan itu menyatakan bahwa sepertiga Muslim di Jerman menderita permusuhan karena agama mereka.  

"Laporan ini mungkin khusus untuk Muslim di Jerman saja, tetapi pemandangannya hampir sama di seluruh benua Eropa," ujar Al-Hamdi.

Sekitar 5,5 juta Muslim tinggal di negara Eropa. Al-Hamdi mengatakan, manifestasi rasisme di Eropa terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari kasus individu, ketika umat Islam mengalami kesulitan dalam memperoleh tempat tinggal atau pekerjaan karena nama mereka, penampilan mereka, atau asal-usulnya.

Al-Hamdi menambahkan, wanita berkerudung menjadi sangat rentan terhadap rasisme. Mereka menghadapi ucapan dan pelecehan yang menyinggung.

"Rasisme telah mencapai tingkat yang lebih tinggi dari sebelumnya, dengan munculnya partai-partai sayap kanan di sebagian besar negara Eropa yang mengadopsi pendekatan anti-Muslim," kata Al-Hamdi.

Al-Hamdi memperingatkan, perkembangan berbahaya dan mengancam masa depan koeksistensi di negara-negara Eropa. Terutama karena sebagian besar Muslim telah menjadi warga negara Eropa setelah memperoleh kewarganegaraan dan memenuhi kewajiban mereka di hadapan hukum.

"Eskalasi ujaran kebencian telah menciptakan kesenjangan antara orang Eropa, berdasarkan agama dan ras," kata Al-Hamdi.

Menurut Al-Hamdi, perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung sejak 24 Februari 2022 telah membuat rasisme terhadap Muslim di Eropa terlihat jelas dalam perlakuan media terhadap pengungsi Ukraina. "Sayangnya, sebuah narasi diadopsi bahwa pengungsi Ukraina sama sekali berbeda dari mereka yang datang dari Suriah, Irak, Afghanistan, dan Timur Tengah," ujarnya.

Ketika ditanya tentang peran Muslim Eropa dalam menghadapi ujaran kebencian, Al-Hamdi mengatakan, hukum di Eropa dapat ditegakkan dan memiliki otoritas atas semua orang. Oleh karena itu, Muslim Eropa mengandalkan kekuatan hukum untuk melindungi mereka.

"Kami berusaha menghadirkan citra beradab dari agama Islam yang menyangkal semua narasi populis, ekstremis, dan pemikir eksklusif," ujar Al-Hamdi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement