Selasa 07 Feb 2023 22:48 WIB

Membangun Parlemen Partisipatif dan Responsif

Pascaamandemen konstitusi kewenangan legislasi bergeser menjadi kekuasaan parlemen.

Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie saat mengisi sesi diskusi Bincang Pakar dalam rangkaian acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban di di Hotel Shangri la, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (5/2/2023). Diskusi tersebut membahas tentang sudut pandang syariat islam untuk masa depan peradaban dalam tinjauan fikih dengan tujuan dapat melahirkan peradaban yang lebih baik bagi semua umat.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie saat mengisi sesi diskusi Bincang Pakar dalam rangkaian acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban di di Hotel Shangri la, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (5/2/2023). Diskusi tersebut membahas tentang sudut pandang syariat islam untuk masa depan peradaban dalam tinjauan fikih dengan tujuan dapat melahirkan peradaban yang lebih baik bagi semua umat.

AHMAD THOLABI KHARLIE; Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki posisi strategis dalam negara demokrasi konstitusional. DPR menjadi manifestasi dari kedaulatan rakyat. Terlebih, fungsi konstitusional yang melekat pada lembaga legislatif yang strategis yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.

Pascaamandemen konstitusi pada 1999-2002, ketiga fungsi konstitusional DPR tersebut semakin kukuh. Seperti kewenangan legislasi yang semula merupakan kekuasaan presiden (Pasal 5 UUD 1945/pra amandemen), namun pascaamandemen konstitusi kewenangan legislasi bergeser menjadi kekuasaan parlemen (Pasal 20 ayat (1)/pascaamandemen).

Dalam perjalanannya, ketiga fungsi yang dimiliki DPR tak pernah sepi dari kritik publik. Persoalan inkonstitusionalitas norma dalam undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden, fungsi pengawasan parlemen terhadap kerja eksekutif, hingga penyusunan anggaran yang sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran rakyat menjadi catatan penting dalam perjalanan parlemen di era reformasi ini.

Keberadaan Badan Keahlian (BK) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam konteks tersebut, sejatinya menjadi jawaban atas kritik yang muncul dari publik. Fungsi konstitusional DPR yang bermuara dari kerja politik oleh anggota DPR yang merupakan political representation yang ditransformasikan dalam bentuk keputusan politik yang solid dan dapat dipertanggungjawabkan atas supporting system yang dijalankan oleh BK DPR.

Meski demikian, sejak keberadaan BKD yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, fungsi konstitusional yang melekat pada DPR bukan tanpa soal. Sejumlah produk hukum yang dihasilkan DPR menimbulkan polemik di publik. Bahkan, di titik paling ekstrem, produk yang dihasilkan DPR dan Presiden seperti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional dari sisi prosedur pembentukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Situasi tersebut menjadi catatan penting bagi DPR dan sistem pendukung di dalamnya, tak terkecuali BK DPR, untuk mencari formula yang ideal dalam mengoperasionalkan lembaga politik di satu sisi dan mengaktifasi sistem pendukung di sisi lain yang bertumpu pada kajian akademik dari kalangan ahli.

Karena itu, mencari formula ideal antara DPR dan sistem pendukung di dalamnya harus segera dibentuk secara solid agar keberadaan DPR sebagai representasi dari rakyat dapat berfungsi secara optimal sebagaimana amanat konstitusi.

Relasi ideal 

Mencari formula ideal relasi antara DPR sebagai lembaga politik dengan sistem pendukung harus segera dilakukan. Langkah ini penting untuk memastikan DPR dapat memerankan secara optimal sebagai representation of idea dari rakyat. Aspirasi rakyat dapat ditransformasikan dalam bentuk kebijakan hukum (legal policy) melalui undang-undang, politik anggaran, serta pengawasan terhadap lembaga eksekutif.

Meski tak dimungkiri, hubungan antara DPR dan sistem pendukung memiliki batasan yang sejak awali disadari oleh masing-masing pihak. Batasan yang dimaksud terkait dengan urusan politik yang menjadi kewenangan penuh DPR. Sedangkan sistem pendukung dibatasi pada urusan konten dan substansi yang berpijak pada kajian akademik-ilmiah.

Namun, persoalan yang muncul, saat urusan yuridis-akademik ditarik ke dalam urusan politik-praktis. Efek ekstrem dari situasi ini tak lain berupa pengabaian pada landasan yuridis-akademik yang berujung pada tidak sesuainya produk yang dihasilkan dengan aturan main (rule of conduct) yang ada. Lebih substansial lagi, munculnya disparitas antara produk yang dihasilkan DPR dengan aspirasi yang muncul dari masyarakat.

Kerumitan tersebut sejatinya dapat diatasi dengan membangun relasi yang ideal antara DPR dan sistem pendukung yang terwadahi melalui BK. Relasi ideal itu tentu harus ditaati dan dipedomani semua pihak. Format relasi ideal tak lain dengan menempatkan prinsip-prinsip dasar dan utama sebagai pedoman utama dalam melaksanakan fungsi DPR.

Prinsip yang dimaksud tak lain mengukuhkan DPR sebagai representation of idea di mana parlemen sebagai perwakilan gagasan dan ide dari warga negara. Apa yang dilakukan DPR merupakan cerminan dari aspirasi dan ide dari warga negara. Di sisi yang lain, kekuasaan legislasi yang dimiliki DPR sebagaimana tertuang dalam konstitusi, semata-mata dalam rangka merealisasikan tujuan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Poin yang juga tak kalah penting, BK dituntut untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas dalam rangka menguatkan dukungan dalam menjalankan fungsi konstitusional DPR. Penguatan kapasitas dapat dilakukan dengan menggandeng pelbagai pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya untuk menyolidkan gagasan, pikiran, dan perspektif sebagai bahan baku dalam perumusan keputusan di DPR.

photo
Sejumah anggota DPR mengikuti rapat paripurna ke-10 masa persidangan II tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/11/2022). Dalam Rapat Paripurna tersebut DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi Undang-Undang (UU). Republika/Prayogi. - (Republika/Prayogi)

Kolaborasi masyarakat sipil

BK sebagai lembaga pendukung kerja konstitusional DPR dapat menguatkan jejaring dengan kalangan masyarakat sipil (civil society), baik kalangan perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, termasuk non government organization (NGO). Jejaring ini harus dibangun secara solid, setara, dan semata-mata ingin menghadirkan produk yang dihasilkan parlemen sesuai dengan amanat konstitusi.

Pelibatan kelompok masyarakat sipil ini untuk memiliki dampak simultan sekaligus khususnya dalam proses mengaktifasi fungsi yang dimiliki DPR. Pikiran alternatif yang bebas nilai dari kalangan masyarakat sipil dapat menjadi pikiran dan perspektif alternatif bagi DPR.

Di samping itu, secara bersamaan, pelibatan secara aktif kalangan masyarakat sipil juga dimaksudkan sebagai upaya diseminasi rencana kebijakan parlemen ke publik. Keterbukaan informasi publik dari DPR menjadi hal yang elementer untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningfull participation).

Keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan hukum melalui DPR menjadi elemen yang prinsip untuk menghadirkan parlemen, yang tidak hanya dekat dengan publik, namun juga mampu menyerap pikiran dan aspirasi dari publik. Upaya ini penting untuk menghadirkan kebijakan hukum yang aspiratif dan partisipatif

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement