Kamis 02 Feb 2023 05:57 WIB

Jawaban untuk Mereka yang Menuduh Alquran Mendukung Kekerasan Terhadap Perempuan

Sebagian kalangan menuduh Alquran menyerukan kekerasan terhadap perempuan

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Alquran. Sebagian kalangan menuduh Alquran menyerukan kekerasan terhadap perempuan
Ilustrasi Alquran. Sebagian kalangan menuduh Alquran menyerukan kekerasan terhadap perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Serangan terhadap Alquran tidak hanya berupa fisik dengan membakar, tetapi juga dengan mendatangkan keraguan terhadap isinya. 

Kendati demikian, usaha ulama Islam yang brilian tak pernah berhenti untuk menjaga Alquran.  Untuk menjawab berbagai kritik dan sinisme terhadap universalitas Alquran, seorang ulama besar asal Suriah menulis buku yang monumental.

Baca Juga

Sang syekh bernama Dr Said Ramadhan al-Buthy, yang wafat syahid akibat dibom jihadis di Suriah itu memiliki karya yang berjudul, La Ya'tihil Bathil.

Buku yang terbit perdana di Damaskus pada 2008 itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi La Ya'tihil Bathil: Takkan Datang Kebatilan Terhadap al-Qur'an.  

Sebagai contoh, jawaban sang penulis La Ya'tihil Bathil terhadap kalangan yang menilai, beberapa ayat Alquran semisal surah An Nisa ayat 34 bertentangan dengan pengentasan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”  

Kalangan itu beralasan, Alquran menyebutkan bahwa seorang suami boleh memukul istri jika sang istri tidak taat kepadanya. Di samping itu, masih dalam dalih yang sama, Alquran juga menempatkan sosok suami sebagai qawwam bagi istrinya. 

Secara istilah, qawwam berarti pelindung, penanggung jawab, atau pemimpin. Padahal, dalam perspektif gender-sekuler, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dan setara dalam hukum rumah tangga. Tidak ada seorang pun boleh mendominasi yang lain. 

Untuk meresponsnya, al-Buthy pertama-tama membedakan antara qiwamah dan wilayah. Yang satu bermakna pertanggungjawaban, sedangkan yang lain ialah otoritas penguasaan.

Wilayah ditandai dengan adanya seseorang yang berkuasa atas orang lain. Menurut al-Buthy, penguasaan itu terjadi karena adanya kekurangan pada diri orang yang-dikuasai.

Islam menyetarakan antara lelaki dan perempuan dalam hak kompetensi, yakni ketika masingmasing sudah dewasa. Dari sini, salah satu pihak tidak memiliki hak wilayah atas yang lain.

Terkait perihal berumah tangga, Islam menetapkan wilayah secara dua arah, yaitu antara suami dan istri. Sang suami meminta saran kepada istri dalam hal-hal tertentu. Istri pun meminta saran kepada suaminya dalam hal-hal tertentu.

Baca juga : 'Kesalahan' yang Sering Dilakukan Penumpang Ketika Mau Masuk Pesawat

Adapun qiwamah berarti pertanggungjawab an sang suami atas istrinya. Suami menjaga dan memperhatikan istrinya, baik dalam perkara moral maupun materiil. Ambil contoh, al-Buthy mengatakan, kawanan perampok memasuki rumah.

Maka, siapa yang pantas melindungi dan dilindungi. Barang tentu jawabannya ialah, suami mesti melakukan perlindungan terhadap istrinya. Alquran menetapkan qiwamah pada kaum lakilaki. Maka, suami sebagai qawwam sudah sesuai dengan naluri fitrahnya.

Al-Buthy lantas meneruskan penjelasannya dengan menyertakan analisis sosial. Pada masa kini, mungkin dapat dijumpai fenomena, yakni se orang suami enggan bekerja menafkahi keluarga.

Kalau dalam kasus demikian, menurut sang syekh, qiwamah bisa saja beralih kepada sang istri, yang mampu memikul tanggung jawab dalam keluarga. Akan tetapi, hal itu tidak lantas menjadi tolok ukur umum dalam kehidupan manusia.

Baca juga: Tiga Benturan Nikah Beda Agama dengan Aturan dan Keputusan Ulama Indonesia

Mengenai perkara memukul istri yang tidak taat, al-Buthy memberikan argumen. Katakanlah sang suami melaporkan ketidaktaatan istrinya ke mahkamah atau pengadilan.

Dengan cara itu, boleh jadi sang istri akan mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada sekadar sedikit pukulan yang tidak menyakitkan. Maka, kebolehan untuk memukul itu berarti menjaga agar persoalan rumah tangga tetap berada di internal, tidak langsung keluar hingga meja hijau.

Yang sangat harus dicamkan pula, pemukulan itu tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Nabi Muhammad SAW menegaskan, pukulan itu harus tidak membekas pada fisik istri. Dan, tujuan tindakan itu hanya untuk memberikan pelajaran bagi sang istri.

Tambahan lagi, sang suami tidak boleh langsung mengambil opsi pemukulan. Ia haruslah menempuh cara-cara yang bertahap, yakni mulai dari menasihati istrinya secara baik-baik. Jika tidak ada perubahan, beralih ke tahap berikutnya.

Umpamanya, tidak berbicara kepada istrinya walaupun masih dalam satu kamar. Kalau tidak ada perubahan juga, barulah boleh melakukan pemukulan yang bukan dalam rangka menyakiti. Cara fisik itulah alternatif paling terakhir apabila semua jalan untuk memperbaiki perangai istri sudah tidak bisa dilakukan lagi.   

Baca juga : Perselingkuhan Kompol D Terkuak, Kenali Empat Akar Penyebab Orang Mendua

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement