Rabu 01 Feb 2023 19:33 WIB

13 Serikat Pekerja Gugat Jokowi ke PTUN Terkait UU Cipta Kerja

Menurut Denny Indrayana, gugatan dilakukan karena Presiden dan DPR tak menaati MK.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Erik Purnama Putra
Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Denny Indrayana.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Denny Indrayana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 13 serikat pekerja resmi mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR. Gugatan itu diajukan melalui kuasa hukumnya Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm.

"Gugatan ini diajukan kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR atas tindakannya yang tidak melaksanakan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja (Putusan MK Cipta Kerja) berupa perintah untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja," kata Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Denny Indrayana kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM itu menjelaskan, dalam kaca mata hukum administrasi negara, tindakan presiden dan DPR dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad/OOD). Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, jenis perkara OOD menjadi kewenangan PTUN sepenuhnya dari yang sebelumnya ditangani pengadilan negeri.

"Oleh sebab itu, Gabungan Serikat Pekerja ramai-ramai gugat presiden dan DPR ke PTUN," kata Denny.

 

Mantan Wamenkumham itu mengatakan, para penggugat menilai, tindakan presiden dan DPR yang tidak melaksanakan amar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukan saja bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun juga bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Denny memastikan, sejak awal UU Cipta Kerja sudah bermasalah. Mulai dari proses pembentukannya yang relatif cepat dan tidak partisipatif, serta kesalahan ketik yang berdampak terhadap kesalahan substansi. Fenomena tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa terhadap UU Cipta Kerja perlu dilakukan perbaikan.

Itulah sebabnya, jika melihat dan membaca ulang poin utama mengapa MK memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja. Hal itu  dikarenakan UU tersebut dinilai sarat akan permasalahan, terutama soal proses pembentukannya yang tidak melibatkan partisipasi publik di dalamnya.

"Uniknya, perintah dari putusan MK tersebut justru dijawab baru-baru ini oleh pemerintah dengan menerbitkan sebuah produk hukum baru, yakni Perppu Cipta Kerja," kata Denny.

Dia menegaskan, sikap presiden dan DPR yang demikian, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK). Pelecehan dimaksud karena berani menentang amar putusan MK. Perintah dari putusan MK terkait UU Cipta Kerja adalah memperbaiki UU-nya.

Sehingga, sudah pasti output yang dihasilkan dari produk tersebut adalah UU perbaikan. Namun, nyatanya yang dihadirkan oleh Jokowi adalah produk hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja.

"Sangat mudah untuk dibaca, bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut adalah untuk menghindari ruang dialog yang rumit. Dengan kata lain, Perppu yang dilahirkan oleh pemerintah (presiden) lebih mencoba untuk menghindari proses pembahasan ditingkat stakeholder, khususnya terhadap beberapa pihak yang secara langsung terdampak," kata Denny.

Ketua Umum Gabungan Serikat Pekerja, Moh Jumhur Hidayat, mengatakan, seharusnya Jokowi dan DPR menjalankan putusan MK yang menganggap UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Akan tetapi, kata dia, Jokowi malah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.

"Aneh tapi nyata presiden yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya paham akan situasi seperti ini, begitu juga dengan DPR. Tetapi memang sejak awal (presiden dan DPR) tidak ingin mengindahkan putusan MK, maka dengan seenaknya putusan MK tersebut mereka abaikan," kata Jumhur.

Berikut 13 serikat pekerja yang menggugat Presiden dan DPR:

1. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional;

2. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;

3. Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;

4. Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;

5. Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif-Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia;

6. Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan;

7. Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia;

8. Gabungan Serikat Buruh Indonesia;

9. Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia;

10. Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia;

11. Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat;

12. Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92; dan

13. Federasi Serikat Pekerja Kependidikan Seluruh Indonesia-Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement