Senin 30 Jan 2023 13:26 WIB

Memaknai Muraqabah dan Ihsan

Perasaan dekat pada Allah yang banyak disebutkan oleh para sufi dengan ‘muraqabah’

Perasaan dekat pada Allah yang banyak disebutkan oleh para sufi dengan muraqabah (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Perasaan dekat pada Allah yang banyak disebutkan oleh para sufi dengan muraqabah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salmah Febriani

Aku jauh, Engkau jauh..

Baca Juga

Aku dekat, Engkau dekat..

Hati adalah cermin..

Tempat pahala dan dosa bertaruh..

Siapa yang tak kenal dengan petikan lagu di atas? Lagu fenomenal dilantunkan musisi religi kenamaan tanah air tentang deskripsi hati seorang muslim pada Tuhan-Nya. Petikan kata ‘jauh dan dekat’ digambarkan sebagai kondisi hati manusia yang cenderung berubah-ubah (muqallib) dan kondisi iman yang bertambah dan berkurang (yazid wa yanqush) pada Tuhannya. Sesekali ia merasa dekat melalui amal-amal shalih yang dilakukannya selalu istiqamah terjaga. Sebaliknya, ia terlempar jauh dan menjadi ‘jauh’ pada Allah karena dosa-dosa dan kekhilafannya yang tak kuasa terhitung banyaknya. Demikianlah lika-liku perjalanan hidup manusia.

Perasaan dekat pada Allah yang banyak disebutkan oleh para sufi dengan ‘muraqabah’ berasal dari Bahasa Arab yakni qariib yang terlahir dari akar kata ‘qaraba’ yang bermakna dekat, tanpa sekat, tiada jarak. Dalam Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Quran, Muhammad Fuad Abd Baqi, menguraikan kata qariib dengan beragam derivasinya disebutkan tak kurang dari 92 kali dalam al-Quran. Dari puluhan kata yang mengandung lafadz qariib, setidaknya terdapat tiga ayat yang mengisyaratkan kedekatan Allah pada hamba-Nya yaitu Qs. Al-Baqarah/2: 186 dan Qs. Al-A’raf/7: 55-56 juga Qs. Hud/ 11: 61. 

Dalam Qs. Al-Baqarah/2: 186, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Ayat di atas dibuka dengan lafadz wawu (dan) yang bermakna kelanjutan dari ayat sebelumnya (Qs/2: 185) tentang kemuliaan dan perintah berpuasa pada bulan suci Ramadan. Perintah berpuasa diikuti dengan penegasan (taukid) langsung dari Allah (melalui lafadz inni/ sesungguhnya Aku) dekat. Pernyataan tegas Allah ini sekaligus menggambarkan bahwa kedekatan Allah bukan hanya soal jarak, namun melampaui itu, Allah pun ujiib ad-da’wata (memperkenankan/ mengabulkan permohonan, idzaa da’aan—dengan syarat ketika seorang hamba itu mau meminta/memohon.  

Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawaih, Abusy Syaikh dan lain-lainnya dari beberapa jalan dari Jarir bin Abdul Hamid dari Abdah as-Sajastani dari ash-Shalt bin Hakim bin Muawiyah bin Haedah dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata, suatu hari seorang Arab Badui datang kepada Nabi seraya berkata, “Apakah Rabb kami dekat sehingga kami bisa memanggil-Nya dengan pelan ataukah Dia jauh sehingga kami harus memanggil-Nya dengan keras?” Nabi terdiam lalu turunlah Qs. 2/ 186 ini.

Sementara itu dalam Qs. Al-A’raf/7: 55-56, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat di atas seolah bermunasabah/ memiliki kesesuaian dalam Qs. Al-Baqarah/2: 186 tentang permohonan, maka dalam Qs. 7/55-56 Allah memberikan informasi tentang adab-adab ketika seorang hamba memohon (berdoa) yakni dengan tadharru’ (rendah hati) dan khufyah (suara yang lembut). Do’a sebagai ketundukan seorang hamba, selayaknya dihaturkan dengan perasaan penuh harap dan suara lirih, tidak berteriak-teriak sebab ini adalah teladan langsung dari Zat Yang Maha Mengabulkan Permohonan. Tuntunan berdoa ini juga menjadi salah satu dari sepuluh anjuran adab berdoa menurut Imam al-Ghazali dalam Mahakarya-nya, kitab Ihya ‘Ulum ad-Din bahwa berdoa seyogyanya dilakukan dengan penuh adab pada Allah—termasuk merendahkan hati, penuh harap dan suara yang lembut. Perasaan bahwa doa akan dikabulkan juga menjadi prasyarat hamba yang berdoa, atau jika doa belum terkabul, seorang hamba harus yakin bahwa Allah akan mengabulkan dengan hal yang lebih baik. Demikian menurut Imam Al-Ghazali yang juga dikutip oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar. 

Ayat di atas ditutup dengan lafadz Inna rahmatallahi qariib minal muhsinin/ sungguh, rahmat Allah sangat dekat pada orang-orang yang berbuat baik, menurut Imam Ibn Katsir maksudnya ialah kasih sayang dan penjagaan Allah senantiasa dekat pada siapapun hambanya yang gemar berbuat baik. Berbuat baik (‘amal shalih) tidak terbatas hanya ibadah-ibadah ritual wajib/ mahdhah saja namun juga ibadah sosial pada sesama manusia juga hablu ma’al bi’ah (ibadah pada alam lingkungan) sesuai Qs. Hud ayat 56 di atas mengenai larangan merusak bumi yang juga tertera pada Qs. Hud 11/61 di bawah ini. 

 Terakhir dalam Qs. Hud/11: 61, Allah berfirman, “Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).”

 Ayat di atas secara spesifik disampaikan untuk kaum Nabi Shalih as. Setidaknya ada tiga pesan dari Nabi shalih pada kaumnya. Pertama, tauhid (mengesakan Allah) dengan sebenar-benarnya. Kedua, meminta kaumnya untuk peduli terhadap lingkungan karena Allah telah menciptakan manusia dari tanah dan menjadikan bumi sebagai sebaik-baiknya tempat tinggal. Ketiga, adab berdoa (hanya) pada Allah bukan pada sesembahan mereka sebab Allah qariib (dekat) dan Maha Kuasa mengabulkan seluruh permohonan manusia.

 Beberapa pesan yang tersurat dan tersirat dalam tiga ayat di atas mengisyaratkan pada kita bahwa perasaan dekat (muraqabah) pada Allah berbanding lurus dengan daya untuk selalu berbuat baik (ihsan) pada Allah, orangtua, keluarga, sesama manusia, juga pada seluruh makhluk Allah yang lain (hewan dan tumbuhan). Dorongan untuk ihsan (berbuat baik) muncul karena perasaan dekat dan merasa diawasi Allah dalam setiap aktivitas. Jiwa orang-orang yang muraqabatullah menyadari sepenuhnya bahwa Allah Maha Melihat sehingga ia takut untuk bermaksiat. Karena keyakinannya atas Allah, iapun tidak pusing atas penilaian dan rasa terimakasih dari makhluk. Ia berbuat baik tanpa beban, tanpa pamrih apalagi berharap ucapan terimakasih atau balasan dari makhluk. Ia yakin seyakin-yakinnya Allah yang akan mengganjar setiap amal shalih, sekecil apapun. Muraqabah dan ihsan menjadi hal yang tak terpisahkan bukan saja karena manusia yang terus berupaya menjaga kualitas iman, namun juga sepenuhnya sadar bahwa Allah sangat kita butuhkan. Allahu a’lam. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement