Kamis 29 Dec 2022 16:41 WIB

MUI Jelaskan Prinsip UU Jaminan Produk Halal

Prinsip pertama adalah sebagai perlindungan keyakinan bagi konsumen Muslim.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam. MUI Jelaskan Prinsip UU Jaminan Produk Halal
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam. MUI Jelaskan Prinsip UU Jaminan Produk Halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan prinsip dasar Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Prinsip pertama adalah sebagai perlindungan keyakinan bagi konsumen Muslim.

"Negara memberikan jaminan pelaksanaan agama sesuai dengan keyakinannya, di mana urusan halal salah satu elemen penting di dalam kehidupan agama bagi masyarakat Muslim," kata Kiai Niam saat Ekspose Laporan Tahunan Komisi Fatwa dalam Proses Sertifikasi Halal, Kamis (29/12/2022).

Baca Juga

Ia menjelaskan, prinsip yang kedua, perlunya ada jaminan kepastian hukum, apakah ini halal atau tidak. Jaminan kepastian hukum ada dengan melakukan mekanisme sertifikasi dan penetapan kehalalan terhadap jenis produk yang akan dikonsumsi.

Kepastian hukum ini menjadi penting mulai dari hulu hingga hilir. Karena ini satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jadi jangan sampai menurut si A halal, sementara menurut si B haram, sehingga tidak ada kepastian hukum. Maka UU JPH hadir untuk memberikan kepastian hukum.

Kiai Niam menjelaskan, ketiga, keseimbangan antara motif ekonomi dan motif agama. Karena ketika berbincang soal produk pangan di situ ada dimensi ekonomi. "Tapi konsentrasi hanya ke dimensi ekonomi dengan meninggalkan aspek keagamaan tentu itu tidak sesuai dengan prinsip awal jaminan kehalalan, karena hal itu adalah terminologi agama, karena itu undang-undang JPH ini memberikan jaminan keseimbangan antara motif ekonomi dan substansi ajaran agama," ujar Kiai Niam.

Terkait kedudukan MUI di dalam UU JPH, Kiai Niam menjelaskan, ada konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia bukan negara agama tetapi bukan negara sekuler. Karena itu negara tidak menetapkan substansi halal dan haramnya urusan agama, akan tetapi negara hadir mengadministrasi.

"Di negara kita tidak ada mufti yang bersifat resmi, baik mufti individu maupun mufti jamaai, karena itu MUI diberi amanah oleh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menetapkan fatwa keagamaan khususnya dalam konteks ini fatwa dalam bidang kehalalan produk," jelasnya.

Ia juga mengatakan penetapan fatwa yang tidak tunggal berpotensi adanya perbedaan dalam menetapkan fatwa satu kasus yang sama. Misalnya ada lembaga fatwa A dan lembaga fatwa B, sehingga berdampak ada ketidakpastian hukum halal dan haram.

Ia menambahkan, beragamnya fatwa halal dalam produk yang sama, juga membuat bingung masyarakat awam sehingga menimbulkan kerancuan bahkan akan menimbulkan ketidaktertiban sosial. Beragamnya fatwa halal dalam produk yang sama punya potensi tidak adanya kepastian hukum dalam satu kasus.

"Ketetapan halal di MUI mempunyai daya terima yang tinggi karena di samping faktor historis, faktor sosiologis juga kondisi faktualnya lembaga fatwa di MUI menghimpun  perwakilan lembaga fatwa ormas-ormas Islam menjadi representasi ormas Islam Indonesia," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement