Jumat 02 Dec 2022 07:06 WIB

Ketua MUI Bagi Tips untuk Orang Tua di Tengah Fenomena Disforia Gender

Jenis kelamin seseorang sudah termasuk dalam ketentuan Allah.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Ani Nursalikah
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Utang Ranuwijaya. Ketua MUI Bagi Tips untuk Orang Tua di Tengah Fenomena Disforia Gender
Foto: Republika/ Wihdan
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Utang Ranuwijaya. Ketua MUI Bagi Tips untuk Orang Tua di Tengah Fenomena Disforia Gender

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena disforia gender belakangan ini meningkat, terutama di kalangan anak-anak. Studi yang dilancarkan oleh Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menemukan, pada 2021 tercatat lebih dari 5.000 anak menginginkan berganti gender.

Jumlah tersebut melonjak seratus persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan, sepuluh tahun sebelum itu ditemukan hanya 250 kasus.

Baca Juga

Ledakan serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Reuters bersama Komodo Health Inc, menunjukkan pada 2021, sebanyak 42 ribu anak-anak didiagnosis mempunyai kecenderungan disforia gender. Jumlah itu melonjak tiga kali lipat ketimbang jumlah pada 2017.

Bagi orang tua, fenomena ini menjadi persoalan serius. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Utang Ranuwijaya mengatakan dalam ajaran Islam yang terkait dengan keimanan, tepatnya rukun iman ke-6, iman kepada Qada dan Qadar wajib diyakini. Jika tidak, ini memiliki konsekuensi atas keberagamaan seseorang.

“Fenomena disforia gender yang akhir-akhir ini dinilai meningkat sebagaimana dalam pemberitaan media massa merupakan bentuk pengingkaran terhadap ketentuan dan ketetapan Allah,” kata Prof Utang kepada Republika.co.id, Kamis (1/12/2022).

Prof Utang menjelaskan jenis kelamin seseorang sudah termasuk dalam ketentuan Allah yang ditentukan sejak dalam rahim. Dalam Islam, ada ajaran keharusan untuk bersyukur terhadap pemberian Allah.

Sikap bersyukur itu, lanjut dia, memiliki pengaruh positif terhadap diri seseorang. “Dengan bersyukur Allah SWT akan menambah nikmat pemberian-Nya. Namun, sebaliknya jika tidak bersyukur maka Allah SWT akan mengurangi nikmat, bahkan memberinya azab yang sangat pedih,” ujar dia.

Prof Utang menilai hal inilah yang mestinya diterima oleh setiap orang, termasuk jenis kelamin yang diberikan oleh Allah dan dibarengi dengan rasa syukur. Sikap syukur ini akan membuat hati tentram dan bisa mengatasi kegelisahan yang sedang dihadapi, termasuk kegelisahan soal disforia gender.

Menurut dia, prinsip tersebut mestinya diajarkan oleh orang tua ketika mendidik dan mendampingi tumbuh kembang anak. Sebab, pendidikan keluarga merupakan pendidikan tingkat pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak.

“Orang tua sejatinya mampu mengamati perkembangan psikologi anak sehingga kelainan tumbuh kembang anak bisa segera ditanggulangi sejak dini,” tuturnya.

Selain itu, Prof Utang menyebut orang tua juga perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dipandang akan memengaruhi perkembangan anak, baik mental spiritualnya maupun psikologisnya. Sebab, anak bisa saja bergeser dan berubah perkembangan fisik dan psikologisnya berdasarkan bentukan dan pengaruh lingkungan, pengalaman diri, pengamatan, dan tantangan yg dihadapinya.

 

“Orang tua juga mesti mewaspadai anak-anak yang cenderung mengurung diri, tertutup dan lebih memilih dunia media sosial sebagai media penyaluran hobinya. Karena dunia media sosial bak hutan belantara yang penuh dengan segala tantangan dan risiko bahaya yang mengintai,” tambahnya. n meiliza laveda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement