Rabu 19 Oct 2022 19:14 WIB

Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun: Reformasi Hukum Amat Mendesak di Indonesia

Reformasi hukum perlu dipahami sebagai mereformasi hukum di bidang peradilan.

Dr Susetya Herawati, Dr Hartanto, Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan, Guru Besar UI Prof Jimly Asshiddiqie, Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono, dan Dr Muchtar (dari kiri ke kanan) menghadiri Seminar Nasional Darurat Peradaban Hukum yang digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Rabu (19/10/2022).
Foto: Dok.Unkris
Dr Susetya Herawati, Dr Hartanto, Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan, Guru Besar UI Prof Jimly Asshiddiqie, Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono, dan Dr Muchtar (dari kiri ke kanan) menghadiri Seminar Nasional Darurat Peradaban Hukum yang digelar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Rabu (19/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reformasi hukum yang diperintahkan Presiden RI Joko Widodo kepada Menko Polhukam Mahfud MD perlu dipahami secara konkret sebagai mereformasi hukum di bidang peradilan. Pasalnya, dari peradilan ukuran hukum itu ditegakkan melalui putusan-putusannya.

"Memang tidaklah mudah untuk membongkar dan membenahi lembaga peradilan yang selalu berlindung dengan dalih independensi hakim yang seolah-olah tidak dapat disentuh oleh kekuasaan lainnya termasuk Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi di Negara RI,” ujar Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun dalam Seminar Nasional Darurat Peradaban Hukum yang digelar Unkris bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Rabu (19/10/2022)

Menurut Prof Gayus, fakta tertangkapnya seorang hakim agung melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini merupakan pukulan telak dan berat terhadap lembaga puncak dari benteng keadilan Indonesia. Belum lagi fakta-fakta bahwa 85 hakim dari pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial (KY) pada rentang waktu antara Januari hingga November 2021. “Jumlah tersebut akan bertambah pada tahun 2022 ini,” jelas dia.

Situasi darurat peradaban hukum ini, lanjut Prof Gayus, akan menimbulkan kerugian masyarakat banyak, baik di dalam maupun di luar negeri dalam kaitan dangan investasi. "Sengketa hukum di pengadilan dengan fakta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur peradilan juga akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia akan menurun," kata dia mengingatkan.

Karena itu, kata Prof Gayus, reformasi hukum menjadi sangat mendesak dilakukan dan ini menjadi kewenangan Presiden RI. Berdasarkan konsep negara hukum yang berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, bentuk negara presidensial menempatkan Presiden RI sebagai pimpinan tertinggi negara hukum. "Ini memberikan kewenangan kepada Presiden RI untuk melakukan reformasi hukum,” ucap dia.

Di lingkungan peradilan dengan Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga tertinggi, kata Prof Gayus, telah dibuat road map sebagai Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035. "Namun langkah tersebut tidak mampu meningkatkan kualitas hakim termasuk hakim agung."

Oleh karena itu, sambung Prof Gayus, peran strategis presiden sebagai kepala negara merupakan konsekuensi sistem presidensial yang menempatkannya sebagai tokoh sentral dalam sistem kenegaraan RI. Hal tersebut juga dikuatkan dengan kewenangan presiden saat ini dalam membentuk pengadilan-pengadilan dan pengangkatan/pemberhentian hakim dan hakim agung.

Menurut Prof Gayus, ada dua kebijakan Presiden RI sebagai arti konkretnya reformasi hukum yang bisa dilakukan dalam menghadapi darurat peradaban hukum. Pertama, dengan melakukan evaluasi hakim-hakim di semua tingkatan pengadilan dari PN, PT, dan MA untuk dipilih hakim-hakim yang baik tetap dipertahankan, sementara yang tidak baik diganti. "Hasil proses evaluasi ini Indonesia akan memiliki wajah baru peradilan."

Kedua, lanjut Prof Gayus, perlu dibentuk lembaga eksaminasi terhadap putusan-putusan pengadilan yang menimbulkan kerugian akibat putusan yang dihasilkan oleh penyimpangan hakim, baik yang OTT oleh penegak hukum lainnya maupun yang ditemukan oleh KY. "Lembaga eksaminasi ini perlu dilakukan sebagai bentuk kontrol publik yang bisa memberi keadilan pada korban penyimpangan oleh hakim dan aparatur peradilan atas penggunaan kekuasaan yang berlindung dengan dalih indipendensi hakim," tegas dia.

Di tempat yang sama, Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono mengatakan, Unkris mengajak sivitas akademika untuk mengembangkan paradigma kritis guna memajukan pendidikan. Termasuk permasalahan di bidang hukum. Karena itu, institusinya menggelar seminar nasional yang digelar secara hybrid di Kampus Unkris tersebut dengan menghadirkan sejumlah narasumber yang sangat berkompeten, yakni Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan, dan Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Unkris, Dr Hartanto.

Mengambil tema "Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif", seminar nasional dengan pembicara kunci Ketua MK periode 2003-2008 Prof Jimly Asshiddiqie, dimoderatori Dr Muchtar dan Dr Susetya Herawati. Seminar nasional tersebut diikuti oleh sekitar 250 peserta yang hadir secara luring di kampus Unkris dan lebih dari 1.000 peserta yang hadir secara daring.

Dr Ayub sepakat bahwa peradaban hukum Indonesia dalam kondisi darurat. "Bagaimana reformasi hukum, apakah harus ada UU dulu baru reformasi. Seminar ini mencoba memberikan masukan kepada Presiden RI untuk selamatkan bangsa dan negara," kata dia.

Unkris, kata Dr Ayub, merupakan perguruan tinggi yang memiliki perhatian tinggi terhadap masalah hukum di Indonesia sejak awal didirikan hingga sekarang. Karena itu, secara berkala, para akademisi di bidang hukum melakukan kajian-kajian terhadap persoalan hukum terkini.

Seminar kolaborasi Unkris dengan Peradi kali ini menjadi salah satu cara urun rembug dari para akademisi dan praktisi hukum terkait poin-poin penting reformasi hukum di Indonesia. "Karena itu hari ini kami hadirkan para pakar bidang hukum untuk menghimpun masukan penting reformasi hukum, selain tentu saja pemikiran para pakar dan akademisi hukum internal Unkris,” jelas Dr Ayub.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement