Jumat 07 Oct 2022 20:03 WIB

Kasus Helikopter AW-101 Dilimpahkan ke Pengadilan, Pengacara Eks KSAU Sempat Ingatkan KPK

KPK melimpahkan berkas perkara pengadaan Helikopter angkut Augusta Westland (AW)-101.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Mas Alamil Huda
Tersangka mantan Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri (DJM) sekaligus Pengendali PT. Karsa Cipta Gemilang (KCG) Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway (kanan), tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Irfan Kurnia menjalani pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AW 101 VIP / VVIP di TNI Angkatan Udara (TNI AU) Tahun 2016-2017, yang merugikan keuangan negara mencapai Rp224 Miliar dari nilai kontrak Rp738, 9 Miliar.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Tersangka mantan Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri (DJM) sekaligus Pengendali PT. Karsa Cipta Gemilang (KCG) Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway (kanan), tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Irfan Kurnia menjalani pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AW 101 VIP / VVIP di TNI Angkatan Udara (TNI AU) Tahun 2016-2017, yang merugikan keuangan negara mencapai Rp224 Miliar dari nilai kontrak Rp738, 9 Miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas perkara terdakwa korupsi pengadaan Helikopter angkut Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway ke pengadilan pada Kamis (6/10/2022). Dia akan segera diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Saat ini, status penahanan terdakwa menjadi wewenang sepenuhnya pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (7/10/2022).

Baca Juga

Meski demikian, Ali belum merinci kapan sidang perdana terhadap Irfan digelar. Sebab, tim jaksa masih menunggu penetapan majelis hakim yang bakal mengadili Irfan.

"Tim Jaksa masih menunggu terbitnya penetapan penunjukkan Majelis Hakim dan penetapan hari sidang perdana dimaksud," ujarnya.

 

Adapun hingga saat ini, KPK menetapkan satu orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017. Lembaga antirasuah itu sudah memanggil beberapa pihak untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus tersebut.

Salah satunya yang dipanggil, yakni eks Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna. Namun, Teguh Samudera selaku kuasa hukum Agus Supriatna sempat mengingatkan dan meminta KPK agar memanggil kliennya sesuai dengan prosedur.

"Ternyata ini panggilan yang kedua, padahal saat panggilan pertama kami juga sudah menyampaikan surat bahkan bicara kepada penyidik. Ini surat pemanggilannya tidak sesuai dengan prosedur, tidak sesuai dengan instruksi panglima maupun undang-undang yang berlaku untuk militer, supaya dibetulkan kira-kira seperti itu," ucap Teguh di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/9/2022).

Karena itu, menurut Teguh, KPK mestinya memanggil Agus Supriatna sesuai aturan TNI. "Lewat atasannya karena kan untuk prajurit, untuk TNI ada aturannya sendiri secara khusus, Jadi, harusnya KPK juga menghargai sesama lembaga, sesama institusi harusnya tahu tentang hal-hal yang seperti itu," ujarnya.

Meskipun status Agus Supriatna saat ini purnawirawan TNI, Teguh mengatakan, kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut itu terjadi saat kliennya masih aktif sebagai prajurit. "Lho waktu kejadian kan masih aktif, kenapa itu tidak diikuti? Gitu saja kok tidak diikuti, kenapa? Ya saling santun sesama lembaga gitu," kata Teguh.

Sebelumnya, KPK telah memanggil Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna pada 8 dan 15 September 2022, tetapi mantan KSAU itu tidak menghadiri panggilan tersebut. Dalam kasus pengadaan helikopter AW-101 tersebut, KPK telah menetapkan Irfan Kurnia Saleh (IKS) selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG) sebagai tersangka.

KPK menduga akibat perbuatan tersangka Irfan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar. Atas perbuatannya, tersangka Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement