Ahad 02 Oct 2022 16:08 WIB

Amnesty Soroti Penggunaan Gas Air Mata oleh Kepolisian yang Dilarang FIFA

Amnesty meminta pemerintah bentuk tim khusus pengungkapan fakta tragedi Kanjuruhan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Petugas melakukan olah tempat kejadian perkara kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Ahad (2/10/2022). Sedikitnya 129 orang dilaporkan meninggal dunia dan 13 mobil rusak akibat kerusuhan tersebut.
Foto: ANTARA/Zabur Karuru
Petugas melakukan olah tempat kejadian perkara kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Ahad (2/10/2022). Sedikitnya 129 orang dilaporkan meninggal dunia dan 13 mobil rusak akibat kerusuhan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia menilai tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (Jatim) disebabkan penggunaan gas air mata yang dilarang dalam pengamanan massa suporter sepak bola di arena pertandingan. Pun disebabkan lantaran tindakan eksesif, atau aksi-aksi yang berlebihan satuan keamanan kepolisian dalam pengendalian massa di dalam stadion. 

“Penggunaan kekuatan yang berlebih-lebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasai atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan. Tragedi Kanjuruhan ini, harus diusut tuntas,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid dalam keterangan resmi yang diterima Republika, di Jakarta, Ahad (2/10).

Baca Juga

Usman mendesak Polri untuk mengusut tuntas, dan pemberian sanksi terhadap personelnya yang melakukan kecacatan prosedur dalam pengendalian massa dengan gas air mata di dalam stadion itu. Ia juga meminta pemerintah untuk membentuk tim khusus pengungkapan fakta atas tragedi kemanusian yang terjadi usai laga pertandingan Liga-1 2022, antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu, Sabtu (1/10).

“Pengusutan tuntas tragedi kemanusian ini, bila perlu dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta,” ujar Usman.

“Karena hak hidup ratusan orang hilang begitu saja. Dan ini benar-benar sangat memilikan kita semua. Dan ini benar-benar merupakan tragedi kemanusian yang sangat menyeramkan,” sambung Usman.

Usman menerangkan, penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan di dalam stadion sepak bola ada pelarangan bakunya yang ditebalkan dalam regulasi internasional. Ia merujuk pada Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulation. Dalam aturan internasional yang baku tersebut, kata Usman menerangkan, pelarangan keras penggunaan suar api, gas air mata, dan senjata api di dalam stadion.

Benda-benda berbahaya itu juga dilarang keras digunakan oleh keamanan untuk pengendalian massa di dalam stadion.

“Bahkan dalam aturan FIFA itu, benda-benda tersebut dilarang untuk masuk ke dalam stadion,” terang Usman.

Larangan itu mengikat semua negara penyelanggara pertandingan sepak bola. Pun mengikat semua orang yang masuk dalam stadion sepak bola. Termasuk para personil keamanan yang melakukan pengamanan dalam pertandingan sepak bola.

Khusus gas air mata, Usman mengatakan, pelarangan penggunaan benda berbahaya tersebut oleh satuan keamanan lantaran sangat berbahaya dalam pengendalian massa di dalam stadion yang semi tertutup. Sebab paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar, memicu mata berair, batuk, dan rasa sesak yang dalam di dada, juga memunculkan iritasi bagi yang terkena, bahkan keracunan.

Kondisi di dalam stadion yang dipadati oleh puluhan ribu suporter membuat pengendalian massa dengan gas air mata di dalam stadion menjadi sangat berbahaya, dan mematikan. Selain karena terang melanggar aturan internasional, menurut Usman, menggunaan gas air mata oleh personil keamanan kepolisian dalam pengendalian massa suporter di dalam stadion tersebut, menunjukkan aksi-aksi pengerahan kekuatan yang melampaui batas.

“Penggunaan kekuatan yang berlebih-lebihan oleh aparat negara seperti itu, berdampak langsung pada hak untuk hidup orang lain,” kata Usman.

Usman memang memaklumi situasi serba salah aparat keamanan dalam pengendalian massa. Akan tetapi, Usman mengatakan, aparat keamanan tentunya memiliki pengetahuan atas aksi-aksi yang tak kelewat batas terhadap massa, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak untuk hidup.

“Kami menyadari kompleksitas situasi dalam menjalankan tugas mereka sebagai aparat keamanan. Tapi, semua personil keamanan harus memastikan dilakukanna pengendalian yang memerhatikan aspek penghormatan terhadap semua orang,” sambung Usman.

Jumlah korban tewas dalam insiden pascapertandingan antara Arema vs Persabaya, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, Sabtu (1/10) dilaporkan terus bertambah. Mereka yang tewas juga termasuk perempuan, dan anak-anak, serta ada anggota kepolisian.

Angka korban jiwa, dan luka-luka tersebut membuat tragedi di Kanjuruhan sebagai peristiwa terburuk dalam catatan sepak bola di dunia. Belum diketahui pasti apa pangkal soal insiden tersebut. Akan tetapi dikatakan, insiden itu terjadi setelah sebagain penonton nekat turun dari tribun, dan masuk ke lapangan usai pertandingan.

Aksi nekat para penonton tersebut, diikuti ratusan, bahkan ribuan suporter lainnya. Panitia lokal yang tak sanggup melakukan antisipasi, mengandalkan satuan pengamanan dari kepolisian untuk membubarkan massa suporter yang tumpah ke tengah lapangan. 

Kepolisian melakukan pembubaran paksa massa di tengah lapangan dengan melakukan pemukulan, dan serangan gas air mata. Akan tetapi sebagian massa suporter melakukan perlawanan.

Pengamanan dari kepolisian pun tetap meminta agar massa keluar lapangan dengan melakukan pengejaran, dan tembakan gas air mata. Upaya tersebut membuat massa panik dan berusaha keluar dari stadion.

Akan tetapi berjubalnya massa, membuat para suporter tak dapat keluar stadion. Sementara kepolisian tetap melalukan tembakan gas air mata, dan pemukulan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement