Rabu 28 Sep 2022 08:51 WIB

Harga BBM dan Tata Kelola Distribusi BBM Subsidi Tuai Sorotan

Anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak 2015.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah pengendara motor mengantri untuk melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite di SPBU Adau Migas Kalbar di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Selasa (13/9/2022). PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan menjamin ketersediaan stok BBM bersubsidi untuk wilayah Kalimantan Barat sesuai dengan kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama Badan Pengatur Hilir Minyak dan gas (BPH Migas) sehingga masyarakat diharapkan tetap membeli BBM sesuai dengan kebutuhan karena stok mencukupi.
Foto: ANTARA/Jessica Helena Wuysang
Sejumlah pengendara motor mengantri untuk melakukan pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite di SPBU Adau Migas Kalbar di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Selasa (13/9/2022). PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan menjamin ketersediaan stok BBM bersubsidi untuk wilayah Kalimantan Barat sesuai dengan kuota yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama Badan Pengatur Hilir Minyak dan gas (BPH Migas) sehingga masyarakat diharapkan tetap membeli BBM sesuai dengan kebutuhan karena stok mencukupi.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kenaikan harga BBM bersubsidi direspons gelombang protes masyarakat. Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM bersubsidi dikarenakan harga minyak dan gas dunia yang mengalami kenaikan akibat konflik Ukraina-Rusia.

Kenaikan harga minyak global jadi dilema yang harus direspons pemerintah. Apalagi sejak 2002, Indonesia jadi Net Importir Minyak Dunia. Maka itu, selayaknya negara berpikir keras tentang transisi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT).

Hal itu penting agar ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi energi fosil dapat dialihkan. Meski begitu, pemerintah perlu berpikir keras mempersiapkan kecukupan dan ketersediaan kuota BBM Bersubsidi hingga akhir tahun ini.

Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Wawan Mas'udi mengatakan, ketersediaan energi bagian layanan yang diberikan negara selain pangan. Energi jadi barang publik paling esensial dan negara bertanggung jawab atas ketersediaan energi itu agar bisa diakses.

Kebijakan menaikkan harga BBM subsidi perlu dievaluasi dan sebaiknya bukan lagi dari alasan beban anggaran. Perlu evaluasi secara komprehensif soal tata kelola. Sebab, selama ini pengambilan kebijakan didominasi pada rezim keuangan.

Jika masalah subsidi tidak tepat sasaran bukan dihilangkan, namun perlu tata kelola yang baik. Kenaikan harga bukan soal besarnya beban anggaran subsidi, harus dilihat dari tanggung jawab negara memastikan ketersediaan dan akses.

"Jangan sampai tidak tersedia dan tidak bisa diakses. Perlu dirancang transisi energi ke energi baru dan terbarukan. Menggantungkan ke energi fosil pemikiran lampau. Saya kira, kebijakan transisi energi sangat penting," kata Wawan dalam Diskusi Akademik yang digelar Fisipol UGM di Auditorium Mandiri.

Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Agung Satrio Nugroho menilai, distribusi BBM subsidi kemungkinan tidak tepat sasaran. Riset PSE, dari 7.000an kecamatan baru 42 persen yang memiliki penyalur distribusi resmi BBM bersubsidi atau SPBU.

"Artinya aksesibilitas fasilitas ketersediaan BBM itu belum separuh lebih," ujar Agung.

Peneliti PSE UGM lain, Yudistira Hendra Permana menuturkan, anggaran subsidi BBM sebenarnya sudah mulai berkurang sejak 2015 dan pada 2017 Pertalite dikenalkan dan Premium mulai dihilangkan. Sayangnya, harga Pertalite tidak banyak berubah.

Setelah Premium dihapuskan, masyarakat beralih ke Pertalite karena harga yang lebih murah dibanding BBM non subsidi lain. Dari kebutuhan sebelumnya hanya satu juta kiloliter per bulan dan saat ini mencapai 2,5 juta kiloliter per bulan.

"Tampaknya, kuota nasional BBM bersubsidi harus dinaikkan dan ditambah agar bisa diakses hingga akhir tahun," katanya.

Peneliti PSE lain, Raras Cahyafitri menekankan, kebijakan subsidi BBM sudah ada sejak Orde Baru. Sebagai negara net importir minyak, kebijakan subsidi perlu dievaluasi kembali apakah perlu dipertahankan atau tidak.

"Di tengah masih adanya ketergantungan pada energi fosil dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang masih belum optimal," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement