Selasa 27 Sep 2022 20:55 WIB

Kemenkes: Lindungi Anak dengan Perketat Penerapan Kawasan Tanpa Rokok

Kemenkes mencatat saat ini anak mudah mengakses rokok pada usia 10-18 tahun

Merokok (ilustrasi). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta pemerintah daerah melindungi anak-anak dari rokok dengan memperketat pengawasan serta penerapan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing.
Foto: www.publicdomainpictures.com
Merokok (ilustrasi). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta pemerintah daerah melindungi anak-anak dari rokok dengan memperketat pengawasan serta penerapan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta pemerintah daerah melindungi anak-anak dari rokok dengan memperketat pengawasan serta penerapan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing.

"Ada sekian kabupaten/kota yang belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) kawasan tanpa rokok. Seharusnya Perda ini sudah harus kita terapkan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti dalam Talkshow Jantung Sehat untuk Semua yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Baca Juga

Eva membeberkan alasan pemerintah daerah harus mulai memperketat kawasan tanpa rokok disebabkan oleh data Kementerian Kesehatan yang mencatatkan saat ini anak dengan mudahnya mengakses rokok pada usia 10 hingga 18 tahun.

Rokok dapat diakses oleh anak-anak melalui pembelian secara batangan. Sayangnya di usia itu, juga diikuti dengan meningkatnya prevalensi masyarakat Indonesia menggunakan rokok elektrik atau vape yang kini hampir menyentuh angka 200 persen.

Alasan lain yang Eva sebutkan adalah kawasan tanpa rokok yang diawasi dengan ketat, mengurangi ruang bagi perokok untuk merokok. Di dalam rumah tangga misalnya, rokok menjadi pengeluaran tertinggi setelah beras dan dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayi.

Rokok bahkan menghabiskan 30 persen anggaran rumah tangga yang seharusnya menjadi dana yang digunakan untuk meningkatkan asupan gizi anak agar terhindar dari stunting atau kekerdilan. "Kalau dihitung, biaya rokok per hari atau per bulan itu menghabiskan 30 persen dari anggaran rumah tangga. Jadi melebihi anggaran telur, ikan dan lain sebagainya. Ini sangat disayangkan," ucapnya.

Selain di rumah, Eva menyarankan agar kawasan tanpa rokok juga diterapkan di sekolah, tempat layanan publik, fasilitas kesehatan seperti puskesmas juga tempat menunggu transportasi umum seperti terminal bus. "Kami harapkan upaya berhenti merokok dapat diawasi oleh legislatif untuk diterapkan kemudian juga masyarakat kita harus tahu bahwa seharusnya kita perhatikan untuk kawasan tanpa rokoknya. Ini harus diupayakan udara bersih bebas dari rokok," ujar Eva.

Ketua PERKI Radityo Prakoso menambahkan baik vape maupun rokok konvensional memiliki isi kandungan yang sama saja. Kandungan zat yang berbahaya di dalam vape justru lebih tinggi.

Dalam hal ini, dirinya menyoroti bila tugas menggaungkan bahaya rokok menjadi tugas pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk terus dilakukan secara rutin, supaya masyarakat tidak percaya terhadap hoaks terkait rokok.

Apalagi dengan pasien penyakit jantung yang masih bertambah. Radityo menekankan meski teknologi dan rumah sakit berkembang pesat, semua tidak ada artinya bila masyarakat abai terhadap kesehatan jantungnya.

"Kita tidak bisa hanya cuma kasih bukti, kita harus melakukan promosi. Ini tidak bisa dikerjakan lini kesehatan saja, tapi harus serentak dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement