Rabu 21 Sep 2022 13:51 WIB

Dikdasmen Muhammadiyah Sebut Wakil Rakyat Gunakan Nurani Soal RUU Sisdiknas

Kemendikbudristek dinilai menutup telinga dari saran terkait RUU Sisdiknas.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agus raharjo
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (tengah) berbincang bersama Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman (kiri) didampingi Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas usai peluncuran Rencana Jangka Panjang Pendidikan (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (10/11). RPJP Dikdasmen ini disusun untuk Tahun 2021 hingga Tahun 2045. RPJP ini berfungsi sebagai panduan arah pendidikan di Muhammadiyah.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (tengah) berbincang bersama Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman (kiri) didampingi Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas usai peluncuran Rencana Jangka Panjang Pendidikan (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (10/11). RPJP Dikdasmen ini disusun untuk Tahun 2021 hingga Tahun 2045. RPJP ini berfungsi sebagai panduan arah pendidikan di Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, mengapresiasi tidak masuknya RUU Sisdiknas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Menurutnya, ini menunjukkan para wakil rakyat menggunakan nurani dan akal sehat dalam menolak RUU yang sarat kontroversi itu.

"RUU ini telah keliru bahkan sejak dalam pemikiran para perancangnya yang sampai sekarang bahkan tidak pernah dibuka identitasnya oleh pihak Kemendikbudristek," kata dia dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Rabu (21/9/2022).

Baca Juga

Hal tersebut, lanjut Alpha, dibuktikan dengan tidak dibuatnya peta jalan atau grand design terlebih dahulu. Padahal, seharusnya menjadi konsep awal yang penting dirumuskan sebelum merancang perangkat peraturan atau undang-undangnya.

"Ibarat merakit sebuah kapal besar sambil bersamaan meluncurkannya tanpa ada kejelasan awal mau dibawa kemana arahnya, berbahaya sekali," ujarnya.

Menurut Alpha, RUU ini cacat bukan hanya dari berbagai sisi subtansi, tetapi juga dari prosesnya yang tidak transparan dan minim partisipasi publik. Dari sisi subtansi, bisa dilihat dari rancunya fungsi dengan tujuan.

"Sempitnya pemahaman luhur Pancasila dalam Profil Pelajar Pancasila yang dijadikan tujuan pendidikan nasional, rendahnya apresiasi terhadap guru dan dosen, minimnya pengakuan pada pendirikan non-formal, tidak jelasnya peran pendidikan berbasis masyarakat, hingga menjebak pendidikan dalam iklim bisnis yang mengesampingkan sisi humanis pendidikan," jelasnya.

Dari sisi keterlibatan masyarakat, Alpha menuturkan, pihak Kemendikbudristek juga menutup telinga dari saran untuk membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang inklusif dan terbuka. Padahal, dia mengungkapkan, Muhammadiyah sudah memberikan saran sejak awal tahun.

"Namun tidak digubris, padahal kementerian punya cukup waktu untuk membentuk panitia kerja nasional ini. Kemendikbudristek lebih memilih mengerjakannya secara diam-diam oleh sekelompok orang yang tidak jelas identitasnya," ujarnya.

Keterlibatan publik, lanjut Alpha, pun hanya artifisial dan aksesoris. Para pemangku kepentingan hanya diajak bicara dalam waktu yang sangat terbatas. Sifatnya hanya sekadar sosialisasi, bukan uji publik seperti yang mereka klaim.

"Ini kan menimbulkan pertanyaan, ada agenda apa di balik ini," ujar Alpha. Karena itu, menurut dia, DPR telah membuat keputusan bersejarah dalam menyelamatkan bangsa di persimpangan jalan yang sangat menentukan.

Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menetapkan 38 rancangan undang-undang (RUU) masuk ke program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Di dalamnya tak masuk revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pemerintah sebelumnya mengusulkan revisi UU Sisdiknas. RUU itu akan diarahkan menjadi undang-undang pengganti dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang mengintegrasikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement