Senin 22 Aug 2022 23:26 WIB

Seleksi Bersama Masuk Universitas Dinilai akan Mengurangi Potensi Penyelewengan

Kasus Unila mengindikasikan longgarnya pengawasan sistem seleksi mahasiswa.

Seleksi masuk kampus (ilustrasi).
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Seleksi masuk kampus (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman menilai seleksi bersama antarperguruan tinggi yang terpusat lebih mengurangi potensi terjadinya penyelewengan.

Zaenur menanggapi penetapan tersangka Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karomani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri.

Baca Juga

"Bagaimana agar ini tidak terulang? Ya, menurut saya seleksi yang dilakukan bersama antarperguruan tinggi atau terpusat, bahkan oleh panitia nasional itu lebih mengurangi potensi terjadinya penyelewengan, karena dilakukan bersama-sama," kata Zaenur ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (22/8/2022).

Kasus tersebut, kata Zaenur, mengindikasikan longgarnya pengendalian dan pengawasan sistem seleksi mahasiswa di Unila, sehingga membuka ruang celah untuk melakukan korupsi, di samping keserakahan dari pelaku itu sendiri. Berbeda dengan jalur mandiri yang tidak terpusat, Zenur menyebut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) lebih rendah peluang masing-masing universitas untuk 'bermain' karena panitianya merupakan panitia bersama di tingkat nasional.

"Sedangkan ini adalah seleksi mandiri yang diselenggarakan sendiri oleh universitas, sehingga panitianya juga berasal dari internal institusi. Jadi ini, menurut saya, membuka peluang ketika ada pihak-pihak yang ingin melakukan mengambil keuntungan dengan cara merekayasa hasil dari seleksi itu," ujarnya.

Namun bila seleksi mandiri secara internal masih mau tetap diselenggarakan oleh perguruan tinggi, maka harus ada sistem kontrol dan pengawasan yang baik untuk mencegah monopoli kekuasaan oleh pejabat di internal kampus. Termasuk, dengan melibatkan pihak eksternal dalam setiap proses pengawasannya.

"Yang eksternal siapa? Ya, siapa saja, termasuk Ombudsman misalnya atau pihak-pihak lain yang dapat melakukan fungsi pengawasan ini," kata dia.

Ia pun menyebut kasus suap Rektor Unila sebagai peristiwa yang memprihatinkan dan memalukan. Sebab, itu terjadi di institusi perguruan tinggi, yang seyogianya menjadi benteng terakhir dari moral sebuah bangsa.

"Institusi yang seharusnya melahirkan gagasan-gagasan yang penting untuk membela kepentingan publik," kata Zaenur.

Pada Ahad (21/8), KPK menetapkan empat tersangka terkait kasus dugaan suap penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur mandiri di Unila tahun 2022. Sebagai penerima ialah Rektor Unila Karomani (KRM), Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi (HY), dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri (MB). Sementara pemberi ialah pihak swasta Andi Desfiandi (AD).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement