Selasa 16 Aug 2022 08:30 WIB

Kemenkominfo-Siberkreasi Luncurkan 58 Buku Literasi Digital

Indonesia masih menduduki kategori “Sedang” dalam hal kapasitas literasi digital.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Satria K Yudha
Aplikasi media sosial di ponsel pintar (Ilustrasi)
Foto: VOA
Aplikasi media sosial di ponsel pintar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi dan mitra jejaringnya meluncurkan 58 buku kolaborasi literasi digital. Buku-buku itu diluncurkan agar masyarakat bisa menggunakannya secara masif untuk pendidikan.

 

“Harapannya, bersama-sama nanti kita bisa luncurkan buku-buku lainnya dan bisa disebarkan ke seluruh daerah dan dapat dibaca semua orang untuk bisa membangun kolaborasi,” ujar Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Mahabatis Shoba, dalam keterangan pers seperti dikutip pada Selasa (16/8/2022).

 

Hal itu dia sampaikan saat peluncuran buku yang digelar di Seminyak, Bali, belum lama ini. Pada kesempatan itu, Mahabatis menjelaskan tentang tiga buku yang pihaknya buat. Ada yang bercerita tentang pemberdayaan di daerah, tentang pengabdian masyarakat, dan “Netizen Beradab”. Dia mengatakan, jika terdapat kebebasan berpendapat dan berekspresi, maka harus punya juga batas untuk beretika di dunia maya dan dunia nyata.

 

Berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021, saat ini Indonesia masih menduduki kategori “Sedang” dalam hal kapasitas literasi digital dengan nilai angka sebesar 3.49 dari 5.00. Atas dasar itulah Kemenkominfo berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk meluncurkan 58 buku kolaborasi seri Literasi Digital.

 

Selain Relawan TIK, ada enam mitra jejaring lainnya yang turut berkolaborasi dalam peluncuran buku itu, yaitu Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Common Room, Hipwee, Klinik Digital Universitas Indonesia, ICT Watch, dan MAFINDO.

 

Donny Budi Utoyo, selaku Dewan Pengarah Siberkreasi mengatakan, toleransi di dunia digital yang ada saat ini adalah hasil dari tingkat literasi yang tinggi serta kebebasan berekspresi. Menurut dia, tingkat toleransi akan semakin tinggi jika apresiasi dan etika ada pada saat berpendapat.

 

“Kebebasan berekspresi tidak bisa dipisahkan dengan etika dan toleransi. Mereka ini harus jadi satu. Jika tidak, bisa menimbulkan masalah bahkan bisa berujung ke ranah hukum. Alangkah indahnya jika ada perbedaan pendapat, diberikan juga tempat untuk berdiskusi secara baik,” kata dia.

 

Amelinda Kusumaningtyas dari CfDS UGM mengatakan, buku-buku yang diluncurkan merupakan bentuk dari riset tentang perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi digital. Dia menerangkan, pihaknya membuat buku-buku tentang ekonomi digital, implikasinya ke pemberdayaan perempuan dan inovasi digital apa saja yang terbentuk ketika Covid-19 terjadi.

 

“Buku yang kedua membahas tentang ketidaksetujuan kami dengan doxing. Apapun alasannya, perundungan di dunia maya bukan suatu hal yang bisa dijustifikasi. Dari situlah kami membahas kira-kira langkah apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan awareness dan mencegah cyberbullying,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement