Senin 15 Aug 2022 13:05 WIB

Korsel Siap Bantu Perekonomian Korut Jika Denuklirisasi Dilakukan

Korut harus terlebih dulu menghentikan aktivitas pengembangan nuklirnya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol berbicara dalam upacara untuk merayakan Hari Pembebasan Korea dari pemerintahan kolonial Jepang pada tahun 1945, di alun-alun kantor kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 15 Agustus 2022.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon, Pool
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol berbicara dalam upacara untuk merayakan Hari Pembebasan Korea dari pemerintahan kolonial Jepang pada tahun 1945, di alun-alun kantor kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 15 Agustus 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol mengatakan, pemerintahannya siap memberikan bantuan ekonomi kepada Korea Utara (Korut). Namun Korut harus terlebih dulu menghentikan aktivitas pengembangan nuklirnya.

Yoon mengungkapkan, denuklirisasi Korut sangat esensial bagi perdamaian berkelanjutan di Semenanjung Korea, Asia Timur Laut, dan dunia. "Inisiatif berani yang saya bayangkan akan secara signifikan meningkatkan ekonomi Korut dan mata pencaharian rakyatnya secara bertahap jika Korut menghentikan pengembangan program nuklirnya serta memulai proses denuklirisasi yang sungguh-sungguh dan substantif," kata Yoon dalam pidato peringatan 77 tahun pembebasan Korea dari penjajahan Jepang, Senin (15/8/2022), dikutip laman kantor berita Korsel, Yonhap.

Baca Juga

Yoon menyampaikan bahwa pemerintahannya tak segan membantu perekonomian Korut jika denuklirisasi dilakukan. "Kami akan menerapkan program pangan skala besar, memberikan bantuan untuk pembangkit listrik, infrastruktur transmisi dan distribusi, serta melaksanakan proyek untuk memodernisasi pelabuhan dan bandara untuk perdagangan internasional," ucapnya.

Dia juga menawarkan untuk membantu meningkatkan produktivitas pertanian Korut, memodernisasi rumah sakit dan infrastruktur medisnya, serta mengimplementasikan prakarsa investasi dan dukungan keuangan internasional. Akhir tahun lalu, mantan presiden Korsel Moon Jae-in sempat menyatakan bahwa secara prinsip Korsel dan Korut sudah sepakat untuk resmi berdamai.

Kendati demikian, Moon tak menyangkal, salah satu tantangan untuk dimulainya pembicaraan tentang kesepakatan damai formal adalah tuntutan Korut. Pyongyang bersikeras, sebelum pembicaraan semacam itu digelar, Amerika Serikat (AS) harus terlebih dulu menarik kehadirannya dari Korsel. Washington pun harus mencabut sanksi terhadap Korut.

Menurut Moon, Korut selalu mengajukan tuntutan itu sebelum pembicaraan apa pun. Di sisi lain, AS sebagai sekutu Korsel kerap menegaskan, ia tak akan mencabut sanksi apa pun sebelum Korut meninggalkan program senjata nuklirnya. “Oleh karena itu, kami tidak bisa duduk untuk berdiskusi atau berunding mengenai deklarasi (damai) tersebut. Kami berharap pembicaraan akan dimulai,” ujar Moon saat berkunjung ke Australia pada 12 Desember lalu.

Moon menekankan, deklarasi akhir perang sendiri bukan tujuan akhir. Namun hal itu akan menjadi langkah penting dalam membuka jalan untuk memulai kembali negosiasi denuklirisasi serta perdamaian di Semenanjung Korea.

Korsel dan Korut terlibat dalam peperangan pada 1950-1953. Perang itu berakhir dengan gencatan senjata dan tanpa perjanjian damai. Jadi secara teknis, saat ini kedua negara masih dalam kondisi berperang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement