Sabtu 13 Aug 2022 19:15 WIB

Ribuan Pekerja Teh Bangladesh Mogok Kerja Tuntut Kenaikan Upah

Hampir 150 ribu pekerja dari lebih dari 200 perkebunan teh Bangladesh mogok kerja

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Hampir 150 ribu pekerja dari lebih dari 200 perkebunan teh Bangladesh melakukan aksi mogok kerja
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Hampir 150 ribu pekerja dari lebih dari 200 perkebunan teh Bangladesh melakukan aksi mogok kerja

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Hampir 150 ribu pekerja dari lebih dari 200 perkebunan teh Bangladesh melakukan aksi mogok kerja pada Sabtu (13/8/2022). Mereka menuntut kenaikan 150 persen upah dolar per hari karena upah yang sangat kecil.

Sebagian besar pekerja teh di negara berpenduduk mayoritas Muslim adalah orang Hindu kasta rendah, keturunan pekerja yang dibawa ke perkebunan oleh penanam Inggris era kolonial. Upah minimum untuk pekerja perkebunan teh di negara itu adalah 120 taka per hari atau sekitar 1,25 dolar AS pada tarif resmi, tetapi hanya lebih dari satu dolar di pasar bebas.

Seorang pekerja mengatakan bahwa upah segitu hampir tidak cukup untuk membeli makanan, apalagi kebutuhan lainnya. "Saat ini kami bahkan tidak mampu membeli beras kasar untuk keluarga kami dengan jumlah ini,” kata Anjana Bhuyian, 50 tahun dikutip laman Al Arabiya, Sabtu.

"Upah satu hari tidak bisa membeli satu liter minyak nabati. Bagaimana kita bisa berpikir tentang nutrisi, pengobatan, atau pendidikan anak-anak kita?” katanya.

Serikat pekerja menuntut kenaikan menjadi 300 taka per hari, dengan inflasi meningkat dan mata uang terdepresiasi. Pihaknya mengatakan bahwa pekerja di 232 kebun teh negara itu memulai pemogokan skala penuh pada Sabtu, setelah empat hari penghentian selama dua jam.

“Hampir 150 ribu pekerja teh telah bergabung dalam pemogokan hari ini,” kata Sitaram Bin, anggota komite Serikat Pekerja Teh Bangladesh.

“Tidak ada pekerja teh yang akan memetik daun teh atau bekerja di pabrik pengolahan daun selama pihak berwenang tidak mengindahkan tuntutan kami,” katanya menambahkan.

Para peneliti mengatakan pekerja teh yang tinggal di beberapa daerah paling terpencil di negara itu  telah dieksploitasi secara sistematis oleh industri selama beberapa dekade. "Pekerja teh seperti budak modern,” kata direktur Society for Environment and Human Development, sebuah kelompok riset, yang telah menulis buku tentang pekerja teh, Philip Gain.

"Pemilik perkebunan telah membajak otoritas upah minimum dan mempertahankan upah yang terendah di dunia," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement