Senin 08 Aug 2022 13:20 WIB

Wah...Gletser di Puncak Jaya Punah, Ini Prediksi BMKG

Gletser hanya tinggal satu persen dari luas awannya yakni sekitar 200 KM persegi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Agus Yulianto
Gletser Papua
Gletser Papua

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, lapisan es atau gletser di Puncak Jaya, Pegunungan Jayawijaya, Papua akan punah mencair pada 2025-2026. Prediksi ini berdasarkan riset BMKG sebagai dampak perubahan iklim dan kenaikan laju suhu secara terus menerus.

"BMKG juga memprediksi gletser tersebut akan punah mencair di sekitar tahun 2025-2026," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Rakornas BMKG 2022 'Peran Info BMKG dalam Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional secara daring, Senin (8/8).

Dwikorita menjelaskan, gletser di Puncak Jayawijaya berdasarkan hasil riset BMKG saat ini, hanya tinggal kurang lebih 2 kilometer persegi atau satu persen dari luas awannya yakni sekitar 200 KM persegi.

Dwikorita mengingatkan, saat ini, perubahan iklim telah berada pada batas kritis yang akan menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Dia menjelaskan, laju kenaikan suhu dalam 42 tahun terakhir telah mencapai rata-rata 0,02 derajat Celcius hingga 0,43 derajat Celcius per dekade di wilayah Indonesia. Tertinggi mencapai 0,47 derajat Celcius terjadi di Kalimantan Timur.

 

Dia mengatakan, kenaikan suhu udara permukaan Global telah mencapai 1,1 derajat Celcius dibandingkan masa pra industri pada tahun 1850 hingga 1900. "BMKG menganalisis dan memproyeksikan kenaikan suhu udara akhir abad ke-21 dapat mencapai 3 derajat Celcius atau lebih di seluruh sebagian besar Indonesia, jika kita tidak berhasil melakukan mitigasi perubahan iklim," kata Dwikorita.

Dia melanjutkan, BMKG juga mencatat dampak perubahan iklim mengakibatkan semakin hangatnya suhu muka air laut di perairan Indonesia hingga mencapai suhu 29 derajat Celcius pada saat terjadi La Nina Moderat dan badai tropis Seroja.

Selain itu, kenaikan muka air laut global termonitor pula mencapai 4,4 mm per tahun pada periode 2010-2015, lebih tinggi lajunya jika dibandingkan periode sebelum 1990-an yaitu sebesar 1,2 mm per tahun.

Begitu juga periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina juga semakin pendek dari 5 hingga 7 tahun pada periode 1950-1980 menjadi hanya 2 hingga 3 tahun selama pasca periode 1980 hingga saat ini.

Menurut dia, seluruh fenomena tersebut juga berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem.

"Itulah sebabnya kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir longsor banjir bandang badai tropis puting beliung dan kekeringan semakin meningkat frekuensi intensitas durasi dan kejadiannya," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement