Selasa 02 Aug 2022 15:56 WIB

Pembangunan DKI Jakarta Pascapemindahan Ibu Kota Negara

Penataan Jakarta harus berkoordinasi dengan daerah sekitarnya. 

Rektor unkris Ayub muktiono (tengah-berbatik dan celana krem) berfoto bersama para narasumber dan peserta webinar
Foto: Istimewa
Rektor unkris Ayub muktiono (tengah-berbatik dan celana krem) berfoto bersama para narasumber dan peserta webinar

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI - Magister Teknik Program Studi Kajian Pembangunan Perkotaan dan Wilayah, Fakultas Teknik, Universitas Krisnadwipayana (Unkris) gelar Webinar bertema Perspektif Pembangunan DKI Jakarta Pascapemindahan Ibu Kota Negara pada Sabtu (30/7/2022). 

Webinar yang digelar secara hybrid di aula Unkris tersebut menghadirkan dua narasumber yang sangat berkompeten yakni Wahyu Utomo Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang, Kemenko Perekonomian dan  Cheka Virgowansyah Direktur Kelembagaan Perangkat Daerah, Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri.

Diskusi yang dipandu langsung oleh  Dadang Rukmana Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Ekonomi dan Investasi sekaligus Dosen Magister Teknik KPPW  Unkris tersebut juga menghadirkan Aca Sugandhy Ketua IAP periode 1980-1988 sekaligus Dosen Magister Teknik KPPW Unkris dan Heru Hermawanto, Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan, DKI Jakarta sebagai penanggap.

Webinar diikuti oleh lebih dari 200 peserta yang merupakan dosen dan mahasiswa, Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI), Komunitas Pembangunan Perkotaan dan Wilayah, Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Pemda lainnya, Kementerian dan Lembaga Negara.

Rektor Unkris Ayub Muktiono mengatakan, wacana pemindahan ibukota sebenarnya bukan hal yang baru. Presiden pertama RI Ir Soekarno telah menyampaikan gagasannya terkait pemindahan ibukota sejak tahun 1957. “Bung Karno sudah menyampaikan wacana pemindahan ibukota di Kalimantan Tengah, sehingga pemindahan ibukota bukanlah sesuatu yang tidak patut,” kata dia dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/8/2022).

Namun saat ini, sebagian masyarakat menganggap bahwa keputusan Presiden Jokowi terlalu tergesa-gesa. Karena itu, penting persoalan pemindahan ibukota ini memiliki landasan hukum yang kuat.

Selain sudah lama diwacanakan, pemindahan ibukota negara, kata Wahyu Utomo, juga dilatarbelakangi beberapa masalah. Yakni persoalan keseimbangan wilayah, lingkungan, ekonomi, politik sosial budaya dan pertahanan keamanan. 

“Memindahkan ibukota negara merupakan momentum untuk mengurangi Jakarta yang sudah terlalu crowded, sehingga Jakarta bisa menarik nafas,  break sebentar untuk menata kembali Jakarta agar menjadi lingkungan lifeable.,” jelasnya.

Meski sejumlah pihak mempertanyakan Jakarta pascapemindahan ibukota negara, bagi Wahyu,  perspektif dan fungsi Jakarta sedikitpun tidak akan berkurang. Jakarta akan tetap tumbuh sebagai daerah khusus. “Fungsi yang berkurang hanya fungsi pemerintahan negara,” tambahnya.

Menurutnya, meski Jakarta akan tetap tumbuh, tapi konsep metropolitan tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada apabila hanya Jakarta saja yang ditata. Karena itu, penataan Jakarta harus berkoordinasi dengan  daerah sekitarnya seperti Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi. 

Konsep metropolitan Jakarta dan sekitarnya sudah ada aspek legalitasnya yaitu Perpres No. 60 tahun 2020 tentang RTR Kawasan Perkotaan Jabodetabek Punjur dan Perpres No. 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018 – 2029. 

“Perangkat perencanaannya sudah terintegrasi, tinggal bagaimana kerjasama dan koordinasinya antara Pemerintah Jakarta dan pemerintah daerah sekitarnya,” tambahnya.

Dadang  Rukmana juga berpandangan sama bahwa kepindahan IKN dari Jakarta, tidak akan mengurangi fungsi Jakarta. Kota Jakarta akan tetap memiliki pemerintahan ditingkat provinsi jadi satu layer, sementara ibukota tingkat dua hanya merupakan perangkat daerah dan Jakarta akan tetap sebagai pusat jasa/bisnis, sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.

Senada juga disampaikan Cheka Virgowansyah. Dalam paparannya, dia mengatakan, bahwa peran dan fungsi DKI Jakarta saat ini masih tetap sampai ada peraturan baru terkait dengan pemindahan ibukota Negara. “Apabila nanti Jakarta tidak lagi sebagai ibukota negara maka akan ada penyesuaian OPD, hal tersebut tergantung dari intensitas pekerjaan dan efisiensi sehingga dapat ditentukan sebanyak apa OPD nya, bisa membesar atau mengecil,” jelasnya.

Sementara itu, Aca Sugandhi mengatakan, meski ibukota negara nantinya dipindah ke Kalimantan bukan berarti asset-aset negara serta merta menjadi milik Jakarta dan dapat dihijaukan kecuali sudah hijau. “Aset-aset Negara pascapemindahan ibukota, dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan IKN. Teknisnya dapat dengan sistem KPBU dalam optimalisasi asset yang ditinggalkan,” jelasnya.

Diakui Aca, dengan kondisi Jakarta seperti sekarang ini, maka Jakarta akan sulit untuk memenuhi RTR 30 persen. Pemenuhan RTR 30 persen hanya dapat dilakukan dengan peremajaan kota yang penerapan konsep konsolidasi lahan dan mulai menerapkan konsep bank tanah. 

Ia juga berpandangan, dalam rangka konsolidasi lahan, sudah seharusnya Jakarta membangun secara vertical, tidak boleh secara horizontal lagi. Keterbatasan lahan dan tata ruang udara harus mulai diatur. Pendekatan reklamasi jangan dengan menimbun laut, karena hal tersebut merusak lingkungan dan ekosistem pesisir.

Menurut dia, Jakarta saat ini sedang pada masa transisi maka perlu segera disusun review Rencana Tata Ruang Jakarta dan Kawasan sekitarnya serta disusun RDTR. Dimana muatan RDTR mencakup indikasi program sampai dengan rencana investasi serta lembaga penyelenggara dan pembiayaannya, sehingga terkoneksi antara perencanaan dengan programmingnya.

Heru Hermawanto dalam sesi tanggapan menjelaskan, permasalahan utama Jakarta sampai saat ini yang belum bisa diatasi adalah transportasi, persampahan dan banjir, karena merupakan kota lintas dari wilayah sekitarnya. Untuk menyelesaikannya, dibutuhkan koordinasi antar wilayah dalam hal pembangunan infrastruktur. 

“Koordinasi tidak mudah dilaksanakan karena adanya kepentingan pihak tertentu. Selain itu juga adanya ego sektoral, ego daerah dan ego proyek yang menjadi hambatan dalam koordinasi dan pemecahan berbagai permasalahan yang terjadi,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement