Senin 01 Aug 2022 12:06 WIB

Sejarah Puasa Asyura di Bulan Muharram

Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Manfaat berpuasa. Ilustrasi. Sejarah Puasa Asyura di Bulan Muharram
Foto: Republika/Thoudy Badai
Manfaat berpuasa. Ilustrasi. Sejarah Puasa Asyura di Bulan Muharram

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki bulan Muharram, umat Islam disunnahkan untuk berpuasa di dalamnya, termasuk saat Asyura. Bagaimana sejarah adanya puasa di hari tersebut?

Dikutip dari buku Misteri Bulan ‘Asyuro Antara Mitos dan Fakta karya Abu Abdillah Syahrul Fatwa, ‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram. Dia adalah hari yang mulia. Menyimpan sejarah yang mendalam, tak bisa dilupakan.

Baca Juga

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura. Nabi bertanya: “Puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah telah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. (HR. Bukhari: 2004, Muslim: 1130)

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam berpuasa ‘Asyura mengalami empat fase (Lathoiful Ma’arif):

 

Fase pertama: Beliau berpuasa di Makkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa. Aisyah radhiyallahu anha menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa ‘Asyuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”. (HR. Bukhari: 2002, Muslim: 1125)

Fase kedua: Tatkala beliau Shallallahu alaihi wa sallam datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyuro, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma di muka. Bahkan Rasulullah ﷺ menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyuro.

Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhan, beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa ‘Asyuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu anha yang telah lalu.

Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi ﷺ bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari ‘Asyuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 ‘Asyuro agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: “Ketika Nabi puasa ‘Asyuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: 

“Wahai Rasulullah, hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara!! Maka Rasulullah ﷺ berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga”. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”. (HR. Muslim: 1134)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement