Senin 25 Jul 2022 20:27 WIB

Epidemiolog Tegaskan Cacar Monyet Bukan Penyakit Gay

Surveilans cacar monyet harus dilakukan pada semua kelompok masyarakat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Indira Rezkisari
Foto yang dipasok CDC pada 1997 menunjukkan salah satu kasus cacar monyet di Republik Demokratik Kongo.  Ilmuwan masih belum mengerti penyebab kian banyaknya kasus cacar monyet terdeteksi di Eropa dan Amerika Utara pada 2022. Penyakit ini awalnya banyak ditemukan di Afrika.
Foto: CDC via AP
Foto yang dipasok CDC pada 1997 menunjukkan salah satu kasus cacar monyet di Republik Demokratik Kongo. Ilmuwan masih belum mengerti penyebab kian banyaknya kasus cacar monyet terdeteksi di Eropa dan Amerika Utara pada 2022. Penyakit ini awalnya banyak ditemukan di Afrika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Griffith Australia Dicky Budiman menyarankan, agar surveilans wabah cacar monyet atau monkeypox harus dilakukan secara ketat di pintu masuk seperti bandara atau pelabuhan. Surveilans juga sebaiknya dilakukan untuk semua kelompok masyarakat yang datang dari luar negeri tidak untuk kaum-kaum tertentu saja.

Dalam kasus penyakit cacar monyet, Kemenkes RI mengatakan ada beberapa kelompok yang rentan terpapar cacar monyet. Kelompok rentan tersebut adalah kaum penyuka sesama jenis dan pekerja seks komersil.

Baca Juga

“Surveilans itu ada yang sifatnya spesifik, itu memang ada dan ada beberapa kelompok masyarakat yang berisiko tinggi kena cacar monyet. Seperti pria gay, mereka yang gonta-ganti pasangan, pekerja seks, klien pekerja seks, pun keluarga dari mereka yang punya perilaku seks tidak sehat," ujar Dicky kepada Republika, Senin (25/7/2022).

Namun, lanjut Dicky, bukan berarti cacar monyet adalah penyakit khusus gay. Karena, laporan dari beberapa negara pun menunjukkan bahwa kasus cacar monyet ditemukan juga pada wanita maupun anak-anak.

 

Oleh karenya, surveilans harus dilaksanakan terhadap semua kelompok yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien cacar monyet, meskipun mereka bukan kelompok gay. "Yang ingin saya tegaskan, jadi surveilans ke kelompok gay itu bukan berarti surveilansnya hanya kelompok spesifik saja, tapi itu memang kelompok prioritas sih iya,” kata dia.

Kepada para kelompok gay, lanjut Dicky, memang wajib diberikan literasi bahwa jika dalam 2-3 minggu terakhir ini melakukan hubungan seks dengan orang asing. Karena dengan aktivitasnya tersebut memasukan mereka dalam kelompok risiko tinggi. "Dan mereka harus segera divaksinasi," saran Dicky.

Lebih lanjut Dicky mengatakan, untuk surveilans yang dilakukan Kemenkes RI bisa dengan cara mendata kelompok-kelompok berisiko. Kemudian melakukan skrining sesuai dengan indikasi penyakit acar monyet yang ada saat ini.

Setelah melakukan skrining terhadap orang-orang yang berpotensi membawa atau terinfeksi wabah cacar monyet. Menurut Dicky, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah tracing kontak erat, untuk menelusuri lebih jauh siapa saja yang mungkin juga masuk dalam kategori terduga terinfeksi penyakit ini.

“Tujuan mendasar dari tindakan surveilans, termasuk investigasi kasus ini untuk mencegah atau menghentikan transmisi atau penularan antar manusia,” ujarnya.

Dicky kembali menekankan agar pemerintah tidak boleh melakukan surveilans terhadap satu kelompok spesifik saja di bandara atau pelabuhan kedatangan. Sebab, hal itu bisa menimbulkan stigmatisasi terhadap suatu kelompok tertentu.

“Kalau misalnya surveilansnya direncanakan di bandara kepada kaum ini (gay), itu tidak boleh. Jadi namanya ini akan memberikan dampak yang sifatnya kontraproduktif ya dan tidak efektif juga,” tutur Dicky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement