Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Budi Saputra

Apakah Tetangganya Berlangganan Koran?

Sastra | Wednesday, 13 Jul 2022, 14:23 WIB
Sumber foto: Sindonews.com
Sumber foto: Sindonews.com

Budi Saputra

Apakah tetangganya itu benar-benar berlangganan koran? Pertanyaan itu, serta merta berkelabat dalam pikiran Acin setelah berpapasan dengan tetangganya yang bernama Darlena. Empat hari yang lalu, kala menghadiri sebuah hajatan di rumah tetangga, Darlena memang tak mengucapkan kata-kata apapun padanya yang mengendarai sebuah sepeda motor. Namun tatapan wajahnya itu, sungguh tatapan yang membuat Acin merasa bagai dikepung dari berbagai arah oleh sang tetangga. Walaupun hanya seorang Darlena, tapi Acin merasa ada belasan orang yang datang, dan siap menciduknya serta menginterogasinya bagai seorang tersangka.

“Ini tulisanmu ya!”

“Apakah kau merendahkan keluarga kami?”

“Hey jawablah. Hati-hati kalau kau menulis di koran. Apa kau pikir kami ini tak membaca dan berlangganan koran?”

Suara-suara dalam pikirannya itu, tentu saja semakin membuat Acin begitu gelisah. Ia tak menyangka, bahwa imajinasinya yang mengangkat realita tentang tetangga, dan lingkungan tempat tinggalnya, menjelma menjadi momok yang bergelayutan dalam pikirannya. Di kamar bujangnya, kini Acin benar-benar merasa tak berdaya. Ia sempat berpikir untuk sejenak berhenti menulis, hingga tak lagi menerima honorium yang begitu berjasa besar membiayai perkuliahannya.

***

Jauh sebelum Acin piawai menulis di berbagai media massa, dan menguasi berbagai platform media sosial, maka Darlena adalah sosok tetangga yang amat ia benci dalam sungai usianya. Sejak ia kecil, Darlena ikut andil memanggil sebutan buruk kepadanya. Bila bermain di rumah Darlena untuk nonton televisi, ia disoraki berbau busuk, dan malah disuruh mandi dulu hingga teman sepantaran yang lain, tak tersentuh sedikit pun rasa sentimen dari Darlena.

Hingga Acin tumbuh remaja, rasa bencinya terhadap Darlena seakan tak pernah pudar. Meski telah tumbuh remaja, nyatanya ia masih mendapat perlakuan yang tak mengenakkan dari Darlena. Ia tentu masih ingat tentang kejadian kala berusia 12 tahun itu. Dari beberapa kawannya, yang diundang menghadiri acara ulang tahun seorang gadis cantik yang merupakan anak pertama Darlena, maka Acin sendiri yang dipermalukan kala itu.

“Badutnya cocok kamu saja, Acin. kamu kan lucu,” tukas Darlena walau dengan nada bercanda. Muka Acin tentu saja memerah kala itu. Apalagi di depan gadis cantik yang diam-diam sangat ia kagumi itu. Di acara ulang tahun yang memang tak ada badut itu, malah ia yang diusulkan menjadi badut dan diiringi gelak tawa yang pecah di ruangan itu.

Kejadian lain yaitu kala ia meminta jambu yang pohonnya berbuah lebat di halaman rumah Darlena. Ketika temannya yang lain diizinkan memanjat, namun Acin sendiri yang dilarang, dan dituduh rakus apabila telah sampai di atas pohon jambu.

“Janganlah kau memanjat, Acin. Habis pula jambu kau buat nanti. Tunggu sajalah di bawah.” Sergah Darlena yang diselingi gelak tawa yang pecah dari kawan-kawannya. Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja Acin remaja merasa tak adil. Kala buah alpukat di halaman rumahnya berbuah lebat, Darlena dan anak laki-lakinya dengan seenaknya mengambil buah alpukat itu dengan jumlah banyak.

***

Namun siang ini, Acin dikejutkan dengan kedatangan Darlena menemui ibunya. Ia pun membatin, ada urusan apa siang-siang ini perempuan itu ke rumah? Sangat jarang sekali Darlena datang bertandang ke rumahnya, dan berkelakar dengan sang ibu yang memang sering bertandang ke rumah tetangga itu dan sering disuruh-suruh, hingga sering menerima barang bekas yang sebetulnya sering membuat Acin kesal melihat tumpukan barang itu.

Suara besar Darlena seketika menyeruak di sisi ruangan rumahnya. Sebuah tulisan yang hendak ia selesaikan pun seketika ia hentikan. Konsentrasinya menjadi buyar, dan begitu terganggu akan kedatangan Darlena yang ternyata mengabari tentang rencana pernikahan anak pertama, yang baru saja melangsungkan acara wisuda. Seorang gadis cantik yang pernah menjadi teman sepermainan di masa kecilnya dulu.

Acin jelas berharap sang ibu tak memanggil namanya keluar kamar kala itu. Ia tentu sangat risih dan bahkan merasa dimusuhi Darlena yang sehari-hari berjualan sarapan pagi dan penganan ringan itu. Apakah yang akan dikatakan Darlena jika ia keluar dari kamar dan menemuinya di ruang tamu? Acin tentu masih teringat kala ia menulis sebuah feature di sebuah surat kabar di kotanya dua bulan yang lalu. Feature itu berkisah tentang seorang pengumpul botol bekas yang tak lain adalah sepupu dekatnya Darlena.

Acin begitu piawai menulis berbagai jenis tulisan. Termasuk menulis feature yang salah satunya mengenai sepupu si Darlena yang pada akhirnya membuat Acin disemprot sang tetangga.

“Bagus. Kamu wartawan hebat ya. Orang cari rezeki dengan mencari botol, kamu dengan seenaknya masukin ke koran.”

‘Wartawan hebat’. Tentu bagi Acin adalah sindiran yang dilontarkan Darlena sambil berkacak pinggang padanya. Acin sama sekali tak merasa sebagai wartawan, dan tak menyangka bahwa tulisannya dibaca Darlena. Pada sore itu, Acin pun langsung tancap gas, dan tak membahas feature itu lebih lanjut dengan Darlena. Menurutnya, feature yang ia tulis adalah hal yang wajar. Bicara tentang perjuangan seorang ibu untuk membantu perekonomian keluarga.

Sial, kenapa koran itu ada juga ia baca? Apakah ia berlangganan satu koran atau banyak koran? Acin tak habis pikir bahwa tulisan itu sampai dibaca Darlena dan menyindirnya dengan ucapan ‘wartawan hebat’. Batinnya, barangkali Darlena tak senang jika tentang perempuan pengumpul botol bekas itu diangkat sebagai tulisan, dan dibaca oleh banyak orang.

Acin pun cukup merasa malu, risih, dan perasaannya tambah tak karuan bila mengingat segala tulisannya yang terbit di media massa. Sebelum feature itu terbit, ia sempat menulis sebuah cerpen tentang Darlena yang sering mengambil buah alpukatnya tanpa izin. Tentu saja nama dalam cerpen itu adalah nama samaran. Namun meskipun nama samaran, tetap saja Acin merasa bahwa tulisan itu juga pernah dibaca Darlena yang bersuamikan orang kantoran yang mungkin saja berlangganan koran.

Sekali waktu, Acin memang pernah menemukan sebuah potongan koran yang dibawa sang ibu dari kedai Darlena. Pada lembaran koran yang dipenuhi minyak gorengan itu, tertulis nama Acin dengan tulisan yang berjudul “Alpukat yang Menggelinding di Tanah”. Acin jelas serta merta gelisah dan sedikit panik setelah menemukan namanya di bungkusan gorengan kedai Darlena. Dalam pikirannya, ia membayangkan Darlena dan keluarga telah membaca bergiliran, dan besepakat mematai-matai tulisannya yang terbit di koran.

“Ini gorengan yang dibuat Buk Darlena ya, Bu?”

“Iya, memangnya kenapa?”

Acin agak kikuk dan tak berani terus terang. Ia jelas tak ingin satu pun keluarganya tahu tentang berbagai tulisannya. Selama ini, Acin hanya ingin terus menulis dan mengkliping koran yang menerbitkan karyanya, serta menyimpannya dengan rapi dalam bentuk hardcopy dan digital. Beruntung keluarganya tak ada langganan koran, dan bisa dibilang tak hobi membaca koran.

Agar tak ada kecurigaan dari sang ibu, maka Acin hanya berkata bahwa gorengan itu enak dan memilih pergi kuliah setelah itu. Sepeda motor dinyalakannya di halaman depan, dan tak lupa potongan koran itu segera dirobek dan dibuangnya ke tong sampah. Dan begitu lepas dari pagar, Acin jelas memilih jalan yang lain ketimbang harus lewat di depan rumah Darlena yang terletak di seberang kali di belakang rumahnya itu. Padahal, sebelum Darlena mengatakannya “wartawan hebat”, Acin selalu lewat di depan rumah Darlena yang dipenuhi bunga-bunga itu.

.

***

Tetapi begitulah. Ketika Darlena sedang asyik bercerita dengan sang ibu, Acin serta merta membuka pintu kamar dan berlari ke arah belakang. Acin sebenarnya tak ingin menguping apa yang terjadi antara sang ibu dengan Darlena. Dasar, kenapa ia lama betul bertandang di rumah? Batin Acin begitu merasa tertekan, sambil membuang hajat di sisi bak air yang krannya sengaja diputar dengan kencang.

Darlena jelas menjadi momok bagi Acin bila bertemu, lantaran merasa tulisan terbarunya dua hari yang lalu dibaca perempuan tiga anak itu. Tulisan terbaru Acin terbit di media yang notabene baru di kota itu. Tulisan ini tak bakalan dibaca Darlena. Saya yakin ia tak langganan, begitu batin Acin kala memberanikan diri mengirim tulisan ke redaktur koran itu.

Isi tulisan Acin jelas terkait dengan urusan keluarga Darlena yang ribut hebat dan hampir menumpahkan darah terkait pembagian harta warisan. Meskipun tulisan terbit enam bulan setelah kericuhan itu, namun dari alur cerita cerpennya, Darlena akan mudah menebak jalan cerita. Bahwa yang diceritakan Acin sangat berkaitan erat dengan urusan keluarganya, meski kasus itu begitu lazim ditemukan di tengah masyarakat.

Di dalam kamar kecil, di tengah suara kran air yang berderu bagai pincuran yang airnya deras, Acin seakan tegar menunggu Darlena berlalu. Acin berkeyakinan, jika langsung bertemu empat mata dengan Darlena, maka perempuan itu tak segan-segan menyemprotnya, bahkan berceramah panjang lebar kepadanya.

“Tuk-tuk,tuk..”

Alangkah terkejutnya Acin yang berdiri di balik pintu kamar kecil. Seseorang mengetuk pintu dari luar. “Acin, cepat keluar ya. Buk Darlena mau numpang ke kamar kecil.”

Suara dari sang ibu, serta merta membuat Acin kelimpungan. Ia tak tahu harus berbuat apa, di rumah masa silamnya yang telah banyak direnovasi itu. Pekanbaru, 2022

#Cerpen

#amikom.co.id

amikom.co.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image